JIWA
PENDAHULUAN
Pusat
dari seluruh mythology dewa Yunani ialah dewa besar, yaitu Apollo[1].
Dewa besar, menunjukkan bahwasanya kepercayaan tentang adanya sesuatu diluar
manusia telah ada semenjak peradaban manusia. Hal ini dipengaruhi oleh perasaan
tentang adanya Yang Ada. Perenungan tentang perasaan bahwa ada sesuatu yang
menguasai alam ini mengantarkan filsuf untuk sampai pada Yang mutlak. Dialah
Yang Maha Kuasa, Akal pertama, Dialah puncak dan puncaknya menurut Plato adalah
ideal; Dialah Tao, yang menurut Lao Tze, tak dapat diberi nama[2].
Filsafat
Yunani kemudian berkembang ke arah kosmologi; filsafat alam. Terma kosmos, atau
yang ada atau al-Koon merujuk pada benda, gerak, ruang-waktu, struktur,
undang-undang (natuurwet) dan pengaturnya[3].
Pertanyaan yang mengemuka kala itu berkaitan dengan arche alam, apa
sebenarnya bahan alam semesta itu?. Jawaban dari pertanyaan ini dimulai oleh
Thales, yang berpendapat bahwa asal dari segala sesuatu adalah air. Diikuti
oleh Anaximander yang mengatakan asal dari segala adalah Aperion.
Anaximenes berpendapat bahwa asal segala benda adalah udara. Dan Phytagoras
menyampaikan bahwasanya bilangan mengatur alam semesta, dan pokok segala
bilangan adalah satu[4].
Filsafat
alam kemudian dikembalikan oleh Socrates kepada filsafat diri. Melalui ungkapan
“kenalilah dirimu…, kenalilah dirimu…” Socrates membangunkan
kesadaran manusia untuk terbuka pada kebenaran, mencintai kebijaksanaan,
menghargai prinsip hidup, berani melawan arus untuk sampai pada hulu kebenaran.
Socrates mengajak manusia untuk mengenali diri sendiri sebagai manusia yang
sesungguhnya. Prinsip tersebut, mendorong Socrates tetap tegar menghadapi vonis
mati, meski ia merasa tidak bersalah dan terbuka peluang melarikan diri dari
hukuman. Apa yang paling layak untuk hidup, layak pula untuk mati.[5]
Alangkah besar dan hebatnya
rahasia diri, sedemikian hingga kalangan sufi memiliki kredo “Siapapun yang
mengenal dirinya, niscaya kenallah ia akan Tuhannya”. Di setiap jaman,
manusia memiliki pertanyaan tentang siapa sejatinya dirinya. Fisik jasadnya
atau sesuatu yang ada pada tubuh kasarnya itu?
JIWA PADA
ZAMAN PURBA
Pada zaman pra aksara, terdapat
masyarakat yang mengenal Osiris (Matahari) dan Isis (Alam)
sebagai sesembahan. Kala itu mereka berkeyakinan bahwa jiwa manusia mempunyai
dua tujuan: perikatan (manunggal) didalam benda dan kebangkitan kea rah cahaya.
Jiwa berasal dari surga, sedangkan keberadaannya di dunia dipandang sebagai
hukuman. Selama ada dalam penjelmaan (inkarnasi) jiwa itu lupa kepada
asalnya, dibelenggu oleh benda, mabuk terhadap kehidupan, terpenjara dunia.
Keadaan alam keabadian belum masuk ke dalam kesadarannya[6].
JIWA
DALAM FILSAFAT YUNANI
Aku
telah ada di dunia ini. Siapakah aku, dari mana datangku?[7]
Pertanyaan tersebut, dapat dikatakan sebagai permasalahan asasi manusia.
Masalah manusia adalah yang terpenting dari semua masalah. Jauh masa sebelum
Darwin, Anaximander (610-545 SM) telah mengembangkan sebuah teori adapatasi
dengan lingkungan[8]. Aristoteles
(384-322 SM) mendefinisikan manusia sebagai binatang berakal sehat yang mampu berpendapat
dan berbicara berdasarkan pikirannya. Manusia juga binatang yang berpolitik (political
animal by nature) dan binatang yang bersosial (organized society)[9].
Plato
(430-348 SM) mengajarkan tentang cita (ide) dan jiwa. Ide merupakan gambaran
asli dari segala benda yang diperoleh dari kehidupan yang semata-mata bersifat
rohani. Jiwa terletak diantara ide dan materi, ia menjadi penghubung antara
gambaran asli benda (ide) dengan bayangan benda yang ditangkap oleh indera[10].
Pythagoras
mengemukakan bahwa jiwa manusia merupakan alam tersendiri yang penuh dengan
kegelisahan dan pertentangan. Penganut-penganutnya menganggap bahwa budi atau
pikiran itu bagian dari tubuh manusia yang bekerja dan kekal. Roh itu budi yang
diliputi oleh suatu badan lain sebagai rohpula atau badan semacam hawa. Yang
maksud Psyche ialah roh yang turun dan terikat didalam daging dimana ia
mengalami kesedihan dan perjuangan, kenaikan martabat, setingkat demi
setingkat, kemenangan atas berbagai nafsu dan akhirnya kembali ke asalanya:
cahaya[11]
JIWA
MENURUT FILSAFAT ISLAM
Manusia adalah suatu alam kecil di dalam
alam yang besar. Ibnu Sina (980-1037) berusaha menghadirkan gambaran utuh
tentang realitas melalui pertimbangan cara pikiran manusia bekerja. Kemanapun
manusia memandang, manusia akan melihat wujud-wujud senyawa yang terdiri
atas-unsur-unsur yang berbeda. Unsur-unsur sederhana menjadi primer dan wujud
senyawa menjadi sekunder bagi manusia. Ketika manusia mencoba untuk mengerti
sesuatu, manusia akan memecah sesuatu tersebut ke dalam bagian-bagian kecil
sehinngga tak ada lagi pembagian yang mungkin. Sebuah pohon misalnya, terdiri
atas batang kayu, kulit kayu, akar dan daun. Batang kayu terdiri atas cabang
dan ranting yang masing-masing memuat xylem dan floem. Demikian seterusnya[12].
Demikian
halnya dengan realitas manusia. Kisah kejadian Adam, yakni kisah
kejadian manusia pertama, disampaikan secara simbolis dalam Al-Qur’an kitab
suci. Kejadian itu bermula saat Allah swt berfirman[13]
kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi”. Betapa
luhurnya nilai manusia sedemikian hingga Tuhan Allah memperkenalkan manusia
selaku khalifah kepada malaikat. Khalifah dapat bermakna pengganti, pemimpin
atau penguasa.
Tubuh
manusia modern sama kejadiannya dengan manusia pertama, Adam, berasal dari
saripati tanah. Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi
Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah,
kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), maka
jadilah dia[14]. Bahkan tubuh
manusia dapat dikatakan sama kejadiannya dengan benda lain di alam ini.
Benda-benda di alam ini diyakini memiliki unsur dari api, angin, air, dan
tanah. Lebih halus lagi hewan; serangga, mamalia, vertebrata dan tumbuhan;
pohon, bunga, rumput, jamur serta segala benda hidup terdiri atas susunan
bermilyar sel. Setiap sel berasal dari persenyawaan karbon, hydrogen, nitrogen,
dan oksigen. Diperhalus lagi, persenyawaan dari seratusan unsur yang telah
dikenal manusia. Lebih halus lagi raga manusia dan juga benda-benda di dunia
berasal dari atom; pertemuan proton,
neutron dan electron. Peredaran proton, neutron dan electron dalam lingkungan
atom, sama aturannya dengan peredaran planet mengelilingi matahari, sama
kejadiannya dengan peredara tata surya mengelilingi galaksi. Demikianlah,
kejadian manusia dapat dikiaskan dengan kejadian alam semesta.
Gambaran umum tentang proses penciptaan
manusia, dapat dipelajari dari firman Allah dalam Al-Qur’an. Dan Allah
menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani[15]. Bukankah Kami
menciptakan kamu dari air yang hina. kemudian Kami letakkan
dia dalam tempat yang kokoh (Rahim), sampai waktu yang
ditentukan, lalu Kami tentukan (bentuknya), maka
Kami-lah sebaik-baik yang menentukan[16]. Dan sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah, Kemudian Kami jadikan
saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim), Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal
darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan
tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian
Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah,
Pencipta Yang Paling Baik[17].
Apabila
kita pelajari redaksi kata yang dipergunakan Al-Qur’an dalam konteks
pembicaraan penciptaan manusia maka al-Qur’an lebih sering menggunakan redaksi
“khalaqa” dari pada “ja’ala”. Lafadz “khalaqa” memberikan penekanan
tentang kebesaran atau keagungan Allah dan kehebatan ciptaan-Nya, sedangkan
“ja’ala” mengandung penekanan terhadap manfaat yang harus atau dapat diperoleh
dari sesuatu yang dijadikan itu[18].
Kutipan
terjemah Al-Qur’an yang tersebut diatas menjelaskan bahwasanya tubuh manusia berasal
dari tanah (thin, turab atau al-ardl). Kata thin dan turab,
memiliki makna yaitu tanah yang mengandung air, dari sinilah tumbuh segala
tanaman yang sangat dibutuhkan oleh manusia sebagai makanan. Intisari makanan
tersebut sebagiannya akan membentuk spermatozoa, yakni sel mani (ma’in mahin/
air yang hina) yang apabila menyatu ke dalam sel telur akan menjadikan
pembuahan. Sari pati tanah ini kemudian berkembang melalui tahapan; (1)nuthfah;
(2)’alaqah; (3)mudlghah; (4)’idhaman (tulang); dan
(5)lahm (daging).
Setelah
itu Allah menjadikannya makhluk yang berbentuk lain (tsumma ansya’naahu
khalqan akhar), yakni tak sekedar fisik/materi/jasad/raga tetapi juga dilengkapi
dengan aspek non-fisik/immateri. Terjadinya makhluk yang berbentuk lain
adalah dengan ditusnya malaikat untuk meniupkan ruh ke dalam jasad[19].
Demikianlah,
secara umum manusia terdiri atas dua komponen; biologis (raga) dan Ruhani. Raga
manusia, berasala dari saripati tanah yang berevolusi melalui tahapan nuthfah,
alaqah, mudghah, idhaman, lahm. Tahapan itu terjadi di dalam rahim. Jadi,
raga manusia tidak terjadi dengan
sendirinya. Tahap berlanjut dengan ditiupkannya ruh, sehingga janin
bakal manusia itu hidup. Komponen jiwa, mempunyai sifat berbeda dengan jasad
manusia. Hal ini karena jiwa merupakan roh dari perintah Tuhan walaupun tidak
menyamai Dzat-Nya. Jiwa merupakan unsur rohani yang dapat berfikir, mengingat,
mengetahui, dan sebagainya. unsur jiwa adalah penggerak bagi jasad untuk
melakukan kerjanya.
Terdapat
satu unsur lagi disamping unsur jasad dan jiwa, yaiu unsur hayah (unsur
hidup). Satu sel sperma (air yang hina) harus melakukan perjuangan dengan
mengalahkan berjuta sel sperma lain untuk dapat membuahi satu sel ovum. Padahal
sperma itu telah keluar dari jasad. Tentunya spermaitu hidup (hayah)
Jadi hayah bukan komponen jasmanai yang berasal dari tanah dan
bukan pula komponen jiwa atau rohani yang ditiupkan oleh Allah. Hayah itulah
yang kita kenal dengan terma nyawa[20].
Ilmi
jiwa timur yang diwakili oleh Tasawuf islam mengenal dua nafsu pokok: syahwat
dan ghalab. Syahwat ialah keinginan yang menyertai hampir setiap pikiran
manuisa. Syahwat terbagi atas dua aspek: keinginan buruk (sufiah) dan
keinginan suci (muthmainnah). Ghalab ialah kemurkaan yang terdapat pada
individu maupun massa. Ghalab pada massa dinamaidengan nafsu masyrakat. Ghalab terdiri
atas: kemurkaan (ammarah) dan memelihara diri (lawwamah)[21].
Dengan
demikian, ketika membahas manusia, tak dapatlah kita berpaham materialis an
sich dan atau sebaliknya, idealisme
murni. Tenyata, manusia tidak terbentuk
atas satu unsur (monism) atau dua unsur (dualism). Ternyata
manusia tersusun atas beragam unsur (pluralism). Pada waktu membahas
raga, kita tidak dapat terlepas dari unsur yang lain jiwa dan nyawa. Akan
tetapi unsur-unsur tersebut menyatu, sehingga dapatlah dikatakan bahwa manusia
itu monopluralism.
JIWA
DALAM FILSAFAT CINA
Jauh
masa sebelum Lao Tse dan Kong Fu Tse, bangsa Cina telah mempunyai aliran
kebatinan yang lazim disebut Taoisme. Tao ialah wujud perbuatan langit,
perjalanan alam yang beraturan. Namun demikian, Tao tidak hanya peraturan tetap
dalam kodratnya melainkan termasuk peraturan tetap dalam interaksi hidup dalam
keluarga dan Negara. Makna harfiah dari Tao sejatinya adalah jalan dalam arti
fisik. Namun demikian maknanya kian meluas dan abstrak, Tao diartikan haluan,
keadaan, pelahiran nalar dan kebenaran.
Menurut Lao Tse dalam segala benda ada
Tao. Akan tetapi Tao bukanlah benda. Ia ada bersendiri dan tidak pernah
berubah. Berputar dalam lingkaran dan tak pernah tidak tetap. Ia boleh
dipandang sebagai ibu dunia. Dalam sesuatu kejadian ada Tao. Akan tetapi
sesudah kejadian berakhir, Tao masih tetap ada.
Gambaran Tao menurut Lao Tse:
ada dengan tidak ada tetap berhubungan, tak pernah bercerai. Langit ada
terlebih dahulu, disusul oleh bumi. Keduanya diam, keduanya sunyi. Ia (Tao) ada
tersendiridan tidak pernah berubah. Tao
sebagai sebab-musabab peribadi dan menentukan diri pribadi ialah akar dari
segala yang ada dan sebabnya segala tidak ada. Manusia memandangnya,tetapi
tidak melihatnya. manusia menyimaknya, tetapi tidak mendengar. Manusia
menggapainya tapi tidak terpegang.
Bagi
Lao Tse, Tao hanya dapat tercapai dengan ilham (intuisi), namun bagi Kong Fu
Tse, Tao merupakan sesuatu hal yang dapat dijangkau pikiran dengan cara
menyelidiki alam dan hidup.
JIWA
DALAM FILSAFAT BARAT
Rene
Descartes mengatakan bahwa manusia adalah roh yang mempergunakan jasad
jasmaninya sebagai alat.[22]
Jiwa adalah alat perantara antara akal dan Tuhan. Jiwa ibaratkan pelita atau
obor yang menyinari jalan yang ditempuh manusia. Menurut Kant, perbedaan antara
akal dan jiwa ialah bahwa akal mempunyai objek-objek yang material dan
berbatas, sedangkan jiwa mempunyai objek yang immaterial dan tak berbatas[23]
Hegel menyatakan manusia
dikaruniai akal dan budi. Pikiran yang benar ialah pikiran yang ditingkatkan ke
arah budi [24]. Oleh
karena manusia berpikir, maka tidak dapat dicegah bahwasanya pikiran manuisia
yang sehat maupun filsafatnya, dari dan keluar dari pandangan dunia yang empiris
meningkat ke arah Tuhan; peningkatan ini tidak lain mempunyai dasar-dasar
sesuatu yang berpikir bukan semata-mata pandangan dunia dengan panca
indera. Analisa-analisa dari gerakan
budi yang berpikir dan dapat memikirkan keadaan yang ditangkap panca indera,
peningkatan dari pikiran melalui kenyataan, dari yang berbatas ke sesuatu yang
tak berbatas, proses inilah yang dinamakan berpikir.
Leibnitz
(1646-1716) mengemukakan teori monade, sesuatu yang bersahaja, tidak
menempati ruang, dan tidak berbentuk. Sifat utamanya gerak dan berpikir. Monade
inilah yang menciptakan alam, dan bukan cerminan dari alam, akan tetapi sebagai
alam kecil (mikrokosmos) yang mengandung sifat dan tenaga semesta alam
(makrokosmos). Monade ini semacam enteleche-nya Aristoteles. Benda
dan jiwa masing-masing tersusun oleh Monade.
JIWA
DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Pembelajaran matematika
pada dasarnya adalah proses mengembangkan kemampuan siswa yang berhubungan dengan
pencapaian hasil belajar objek-objek matematika. Oleh karenanya pembelajaran
matematika tidak dapat terlepas dari ilmu tentang jiwa: psikologi; lebih khusus
psikologi pembelajaran matematika.
Pertama,
terkait dengan objek matematika. Objek tersebut dapat berupa objek langsung
maupun objek tak langsung. Objek langsung matematika menurut Robert M. Gagne terdiri
atas fakta, konsep, prinsip, dan skill (keterampilan)[25].
fakta adalah konvensi (kesepakatan) dari para matematikawan seperti
lambang, notasi, ataupun aturan. konsep adalah suatu ide abstrak yang memungkinkan
seseorang untuk mengklasifikasi suatu objek dan menerangkan apakah objek
tersebut merupakan contoh atau bukan contoh. Prinsip (keterkaitan
antar konsep) adalah suatu pernyataan yang memuat hubungan. antara dua
konsep atau lebih. Keterampilan (skill) adalah kemampuan untuk
menggunakan prosedur atau langkah-langkah untuk menyelesaikan suatu
permasalahan.
Belah
ketupat merupakan contoh dari konsep di dalam matematika. Dengan
komunikasi verbal, ‘belah ketupat didefinisikan dengan segiempat yang panjang
atau ukuran keempat sisinya adalah sama.’ Akan tetapi, konsep tersebut akan
lambat dipahami siswa jika tidak disertai dengan gambar. Untuk itulah perlu
disajikan gambar (peraga)agar siswa dapat menentukan apakah bangun yang
dimaksud merupakan contoh ‘belah ketupat’ atau bukan.
Gambar 1: Segi
empat
Keberadaan
alat peraga menjadi penting adanya karena pada dasarnya ada dua proses perkembangan
yang saling bertentangan yang terjadi secara serempak, yaitu pertumbuhan
(evolusi) dan kemunduran (involusi). Tugas pendidikan adalah membantu murid
untuk tumbuh berkembang menuju kemampuan potensial yang dapat ia capai.
Kedua,
tahap-tahap pembelajaran matematika. Bruner membagi penyajian proses
pembelajaran dalam tiga tahap, yaitu tahap enaktif, ikonik dan simbolik. Bruner
menekankan suatu proses cara bagaimana seseorang memilih, mempertahankan, dan
mentransformasi informasi yang aktif. Proses tersebut merupakan inti utama dari
belajar. Oleh karenanya ia memusatkan perhatian pada masalah apa yang dilakukan
siswa terhadap informasi yang diterimanya dan apa yang dilakukan setelah
menerima informasi tersebut untuk pemahaman dirinya.
Suatu proses pembelajaran
akan lebih mudah dipelajari dan dipahami para siswa jika guru mampu untuk
memberi kemudahan bagi siswanya sedemikian sehingga para siswa dapat mengaitkan
pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Itulah inti
dari belajar bermakna (meaningful learning) yang telah digagas David P
Ausubel.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran Al-Karim
Bisri Mustofa. 1375 H. Terjemah
Arba’in Nawawiyah. -: Menara Kudus
HAMKA. 1971. Pelajaran Agama Islam.
Jakarta: Bulan Bintang
Idzam Fautanu. 2012. Filsafat Ilmu:
Teori & Aplikasi. Jakarta: Referensi
Karen Amstrong.2004. Sejarah Tuhan.
Bandung:Mizan
Mechikoff, Estes. 2006. A Hystory and
philosophy of sport and physical education. New York: McGraw-Hill
M. Quraish Shihab. 2013. Kaidah Tafsir.
Tangerang: Lentera Hati
Paryana Suryadipura. 1950. Alam Pikiran.
Jakarta: Neijenhuis
Shadiq dan Tamimudin. 2015. Karakteristik
siswa dan teori belajar. Yogyakarta: P4TK Matematika
[1]
Hamka. 1971.Pelajaran Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang hal 23
[2]
Ibid. Hal 25
[3]
Ibid. Hal 30
[4]
Idzam Fautanu. 2012. Filsafat Ilmu: Teori & Aplikasi. Jakarta: Referensi
Hal 20-22
[5]
Ibid. Hal 17
[6]
Paryana Suryadipura. 1950. Alam PIkiran. Jakarta: Neijenhuis hal 102
[7]
Hamka. Op cit. hal 20
[8]
Mechikoff, Estes. 2006. A Hystory and philosophy of sport and physical
education. Hal 14
[9]
Ibid. hal 55
[10]
Paryana Suryadipura. 1950. Alam PIkiran. Jakarta: Neijenhuis hal 111
[11]
Paryana Suryadipura. 1950. Alam PIkiran. Jakarta: Neijenhuis hal 102
[12]
Karen Amstrong.2004. sejarah Tuhan. Bandung:Mizan hal 248
[13]
QS Al Baqarah, 2:30. Terjemah diambil dari Syaamil Al Quran. Bandung: Syamil
Cipta Media
[18]
M. Quraish Shihab. 2013. Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera Hati. Hal 133
[19]
ibid
[20]
Hamka. Op cit. hal 31
[21]
Paryana Suryadipura. 1950. Alam PIkiran. Jakarta: Neijenhuis hal 43
[22]
Paryana Suryadipura. 1950. Alam PIkiran. Jakarta: Neijenhuis hal 59
[23]
Paryana Suryadipura. 1950. Alam PIkiran. Jakarta: Neijenhuis hal 153
[24]
Ibid hal 81
[25] Shadiq dan Tamimudin. 2015. Karakteristik
siswa dan teori belajar. Yogyakarta: P4TK Matematika hal 31