KESERASIAN LANDASAN, TUJUAN DAN DAYA MUAT
KURIKULUM PENDIDIKAN MATEMATIKA
A.
PENDAHULUAN
Para pendiri bangsa Indonesia menyatakan
bahwa deklarasi kemerdekaan adalah berkat rahmat Alloh Yang Maha Kuasa serta diilhami
oleh nilai-nilai luhur bangsa yaitu anti penjajahan, kemanusiaan dan peradaban,
kebersamaan serta keadilan sosial. Hal-hal tersebut kemudian dinyatakan sebagai
ideologi negara, Pancasila. Bung Karno, salah satu proklamator kemerdekaan, pernah
menyatakan bahwa bangsa Indonesia harus berdaulat dalam politik, mandiri/berdikari
dalam ekonomi serta berkepribadian dalam berbudaya dengan mengikuti cara
berfikir Ki Hadjar Dewantara yaitu sifat yang tetap, namun dengan bentuk, isi
dan irama yang harus berkembang selaras mengikuti perubahan jaman.
Perubahan geo-politik dan
kemajuan teknologi telah menggerakkan arus globalisasi menjadi tantangan jaman yang
tidak dapat terhindarkan. Batas-batas maya antar negara menjadi hilang,
liberalisasi dalam berbagai hal bermunculan. Daya saing serta aliansi strategis
bangsa dalam komunitas regional dan global menjadi taruhan. Hal ini tentunya
membutuhkan modal manusia Indonesia yang tanggap, cakap, tangguh dan
berkualitas, yaitu manusia yang cerdas secara spiritual, moral, intelektual,
estetikal serta kinestetikal. Modal manusia itulah satu-satunya sumber daya
aktif yang dapat dikembangkan melalui pendidikan.
Mengingat arti penting pendidikan
bagi keberlangsungan dan kemajuan bangsa, tujuan pendidikan nasional
haruslah mencakup spesifikasi lokal,
jati diri bangsa serta aliansi strategis Indonesia dalam kancah regional dan
internasional. Pendidikan selayaknya mampu membentuk peserta didik menjadi
pewaris nilai-nilai luhur bangsa serta mampu melestarikan dan mengembangkan
daya progresifnya. Jati diri bangsa Indonesia sebagai bangsa religius yang berketuhanan
dengan kekayaan alam yang melimpah serta kemajemukan suku bangsanya harus
mendapatkan perhatian dalam pengembangan pendidikan nasional.
Tulisan berikut ini mencoba
untuk mengetengahkan pembahasan keserasian landasan, daya muat dan tujuan
pendidikan matematika sekolah di Indonesia yang tercermin dari kurikulum
nasional dari sudut pandang filsafat.
B.
FILSAFAT
ILMU
Filsafat, padanan katanya dapat
berupa falsafah atau philosophy, bersumber dari istilah Yunani philosophia.
Akar katanya terambil dari philein (bijaksana), philos (teman), Sophos
(bijaksana) serta sophia (hikmah/kebijaksanaan). Secara harfiah,
filsafat dapat diartikan sebagai mencintai hal-hal yang bersifat bijaksana atau
teman kebijaksanaan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu penglihatan yang
luas, mendalam dan menyeluruh dengan sikap sadar, dewasa, dan bijaksana dalam
memikirkan segala sesuatu. Menurut Sutan Takdir Alisjahbana, terdapat dua syarat
berfikir yang disebut berfilsafat yaitu: berfikir dengan teliti serta berfikir
menurut aturan yang pasti (Fautanu, 2012).
Filsafat menempatkan pengetahuan sebagai pokok pembahasan, sedangkan
pengetahuan tidak dapat terlepas dari pendidikan. Oleh karenanya, filsafat
sangat berpengaruh dalam aktifitas pendidikan seperti perencanaan pendidikan, manajemen
pendidikan, evaluasi pendidikan, dan juga pendidikan matematika. Terdapat
beragam aliran dalam filsafat sebagaimana bermacamnya cabang dari filsafat itu
sendiri.
Filsafat
matematika sendiri telah lahir dalam bentuk awal sejak ribuan tahun yang lalu. Ia muncul ketika orang meminta pertanggungjawaban akan kebenaran
matematika. Perkembangan yang dinilai penting diwakili oleh Pythagoras dan para
pengikutnya, yang berkeyakinan bahwa bilangan adalah yang paling bertanggung
jawab dalam mengatur semesta, “Numbers rules the universe” (bilangan menentukan
alam semesta).
Tulisan ini tidak akan membahas filsafat dan atau filsafat
matematika secara mendalam, sebatas mengetengahkan aliran filsafat yang
berkaitan dengan persoalan sumber dan hakikat pengetahuan.
Pemikiran filsafat yang
bertalian dengan sumber pengetahuan dijawab oleh aliran berikut ini (Ediyono, 2014):
1.
Rasionalisme
Rasionalisme adalah
faham filsafat yang menyatakan bahwa akal adalah alat penting dalam memperoleh
dan menguji pengetahuan. Semua pengetahuan bersumber pada akal dan hasilnya
diukur dengan akal pula. Bahan pengetahuan diperoleh dari indera kemudian
diolah oleh akal dengan metode deduksi sehingga terbentuklah pengetahuan. Dengan
akal itulah aturan untukmengatur manusia dan alam dibuat. Rasionalisme tidak
mengingkari pengalaman, melainkan hanya dipandang sebagai perangsang bagi
pikiran.
Sejak era Thomas
Aquinas, teologi barat cenderung menekankan pentingnya rasionalitas, namun
rasionalisme yang berlebihan akan bersifat reduktif karena mengabaikan
aktivitas imajinatif dan intuitif manusia (Armstrong, 2004, p. 447). Tokoh-tokoh
rasionalisme diantaranya: Rene Descartes, G.W. Liebniz, Blaise Pascal
2.
Empirisme
Empirisme adalah faham filsafat
yang menyatakan bahwa pengetahuan diperoleh dari alam objektif. Indera
memperoleh kesan dari alam nyata kemudian berkumpul dalam diri menjadi
pengalaman. Pengetahuan diperoleh dengan penyusunan dan pengaturan pengalaman.
3.
Realisme
Aliran
filsafat yang menyatakan bahwa objek-objek yang diketahui adalah nyata dalam
dirinya, tidak bergantung pada pikiran, tidak tergantung pada yang mengetahui
atau yang menyerap. Gagasan utama dari realisme adalah bahwasanya sumber pengetahuan
didapatkan dari dua hal, yaitu observasi dan pengembangan pemikiran baru dari
observasi yang dilakukan. Dalam konteks ini, ilmuwan dapat saja menganalisa
kategori fenomena-fenomena yang secara teoritis eksis meski secara faktual tidak
dapat diobservasi secara langsung. Seorang realisme naif akan merasa aman dengan pandangan umum bahwa
matematika berada di luar dirinya baik ketika matematika ditampilkan kepada
dirinya melalui persepsi inderawi ataupun ketika tidak ditampilkan sekalipun.
4.
Kritisisme
Akal menerima bahan
pengetahuan yang masih kacau dari pengalaman. Akal kemudian mengatur dan
menertibkannya dalam bentuk pengamatan terhadap ruang dan waktu
Setelah pembahasan aliran
filsafat yang berkenaan dengan sumber pengetahuan, pemikiran filsafat yang
menekankan pada hakikat pengetahuan dijawab oleh aliran berikut ini (Ediyono, 2014):
1.
Idealisme
Idealisme berasal dari kata ide yang artinya adalah dunia di
dalam jiwa. Pandangan aliran ini lebih menekankan hal-hal bersifat ide, dan
merendahkan hal-hal yang bersifat fisik dan materi. Idealisme adalah tradisi
pemikiran filsafat yang berpandangan bahwa doktrin tentang realitas eksternal
tidak dapat dipahami secara terpisah dari kesadaran manusia. Realitas sendiri
dijelaskan dengan gejala-gejala psikis, roh, pikiran, diri, pikiran mutlak, dan
bukan berkenaan dengan materi. Dengan kata lain kategori, ide, dan gagasan telah
eksis di dalam ruang kesadaran manusia terlebih dahulu sebelum adanya
pengalaman-pengalaman inderawi.
2.
Empirisme
Berbeda dengan idealism, empirisme menekankan bahwasanya hakikat
pengetahuan manusia bersifat terbatas pada apa yang dapat diamati dan diuji.
Oleh karenanya empirisme memiliki sifat kritis terhadap abstraksi dan spekulasi
dalampengetahuan. Empirisme menolak anggapan
bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan.
Empirisme lahir di Inggris dengan tiga tokohnya adalah David Hume, George
Berkeley dan John Locke
3.
Positivisme
Positivisme berasal dari
kata positive yang bermakna peristiwa yang benar-benar terjadi. Positivism aliran
filsafat yang menempatkan peran sentral pengalaman dan bukti empiris sebagai
basis dari ilmu pengetahuan dan penelitian. Terminologi positivisme dikenalkan
oleh Auguste Comte untuk menolak doktrin nilai subyektif, digantikan oleh fakta
yang bisa diamati. Penerapan metode ini untuk membangun ilmu pengetahuan modern
yang diabdikan untuk memperbaiki kehidupan manusia.
Positivism dinilai
sebagai sebuah gerakan revolusi dalam dunia pengetahuan. Pada dasarnya
positivisme bukanlah suatu aliran yang berdiri sendiri, ia hanya menyempurnakan
empirisme dan rasionalisme. Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran adalah
sesuatu yang logis, terdapat bukti empiris serta terukur. Terukur inilah
sumbangan penting dari aliran ini.
4.
Pragmatisme
Aliran ini tidak
mempersoalkan hakikat pengetahuan, tetapi mempertanyakan apa kegunaan
pengetahuan tersebut. Tradisi pragmatism muncul sebagai reaksi terhadap tradisi
idealisme yang dominan yang menganggap kebenaran sebagai entitas yang abstrak,
sistematis dan refleksi dari realitas. Pragmatism berargumentasi bahwa filsafat
ilmu haruslah meninggalkan ilmu pengetahuan transedental dan menggantinya
dengan aktifitas manusia sebagai sumber pengetahuan. Bagi para penganut mazhab pragmatisme,
ilmu pengetahuan dan kebenaran adalah sebuah perjalanan dan bukan sebuah
tujuan.
C. PENDIDIKAN MATEMATIKA
Terdapat
beragam pengertian mengenai matematika. Ia dapat dipandang sebagai ilmu dunia
nyata dimana banyak konsep matematika muncul dari usaha manusia memecahkan
persoalan dunia nyata (Marsigit, 2011). Namun matematika berkenaan pula dengan
ide-ide, struktur dan hubungannya serta konsep-konsep abstrak (Hudojo, 1979). Terdapat tiga macam
pengertian elementer mengenai matematika:
1.
Matematika sebagai ilmu pengetahuan tentang
bilangan dan ruang.
2.
Matematika sebagai studi ilmu pengetahuan
tentang klasifikasi dan konstruksi berbagai struktur dan pola yang dapat
diimajinasikan.
3.
Matematika sebagai kegiatan yang dilakukan oleh para
matematikawan
Soedjadi
(1999:13), mengetengahkan karakteristik-karakteristik dari matematika yaitu:
memiliki objek abstrak, bertumpu pada kesepakatan, berpola pikir deduktif,
memiliki simbol yang kosong arti, memperhatikan semesta pembicaraan, dan konsisten
dalam sistemnya. Teks/simbol matematika yang kosong arti ini dikemukakan pula
oleh Derida, mathematical texts are empty of meaning. Lebih lanjut Derida
mengungkapkan bahwa makna matematika harus dikonstruksikan oleh seseorang baik
secara individu maupun berkelompok berdasarkan pengetahuan faktual mereka
melalui penggunaan konteks (Ernest, 2004).
Konteks menjadi penting
digunakan dalam pembelajaran karena hanya sebagian siswa yang menerima
pelajaran matematika pada akhirnya akan tetap menggunakan atau menerapkan
matematika yang dipelajarinya. Oleh karenanya, penggunaan konteks menjadi
jembatan untuk menanamkan nilai-nilai matematika sebagai komponen penting dalam
pembelajaran matematika di kelas. Menurut Hartman (dalam Marsigit), nilai (value)
matematika paling sedikit memuat empat dimensi, nilai matematika karena
maknanya, matematika karena keunikannya, nilai matematika karena tujuannya, serta
nilai matematika karena fungsinya. Keempat dimensi nilai tersebut, dapat
bersifat: intrinsik, ekstrinsik, maupun sistemik.
Apabila
seseorang menguasai matematika hanya untuk pribadinya maka pengetahuan
matematikanya bersifat intrinsik; apabila dia bisa menerapkan matematika untuk
kehidupan sehari-hari maka pengetahuan matematikanya bersifat ekstrinsik; dan apabila
dia dapat mengembangkan matematika dalam kancah pergaulan masyarakat maka
pengetahuan matematikanya bersifat sistemik
Selain tata nilai (value),
hal utama dalam setiap kegiatan belajar adalah interaksi dengan objek belajar. Objek
matematika yang diperoleh pelajar dapat berupa objek
langsung dan objek tak langsung. Objek langsung adalah fakta (fact),
konsep (concept), prinsip (principle), dan keterampilan (skill).
Sedangkan objek tak langsungnya dapat berupa berpikir logis, kemampuan
memecahkan masalah, sikap positif terhadap matematika, ketekunan, ketelitian,
dan lain-lain. Jadi, objek tak langsung adalah kemampuan yang secara tak
langsung akan dipelajari pelajar ketika mereka mempelajari objek langsung
matematika (Shadiq & Tamimuddin, 2015). Berikut
adalah uraian mengenai objek langsung matematika:
1.
Fakta
Fakta
adalah semua konvensi (kesepakatan) dalam matematika, seperti ekspresi, aturan serta
simbol-simbol matematika. Seseorang dikatakan memahami fakta apabila ia telah
dapat menyebutkan dan menggunakannya secara tepat.
2.
Konsep
Konsep adalah suatu ide abstrak yang memungkinkan seseorang untuk dapat
menentukan/mengklasifikasi suatu objek kemudian menerangkan apakah objek
tersebut merupakan contoh atau bukan contoh. Belah ketupat sebagai segiempat
yang panjang atau ukuran keempat sisinya adalah sama merupakan contoh konsep
dalam matematika. Seseorang
dikatakan menguasai konsep jajar genjang apabila ia mampu
mengidentifikasi contoh dan kontracontoh konsep tersebut.
3.
Prinsip
Prinsip adalah rangkaian beberapa
konsep secara bersama-sama beserta hubungan (keterkaitan) antar konsep
tersebut. Seseorang dikatakan menguasai prinsip apabila ia dapat
mengidentifikasi konsep-konsep yang terkandung di dalam prinsip tersebut,
menentukan hubungan antar konsep, dan menerapkan prinsip tersebut ke dalam
situasi yang tepat
4.
Keterampilan
Keterampilan
adalah operasi atau prosedur yang diharapkan dapat dikuasai seseorang secara
cepat dan tepat. Seseorang dikatakan menguasai keterampilan apabila ia dapat menunjukkan
keterampilan tersebut secara tepat, dapat menyelesaikan berbagai jenis masalah
yang memerlukan keterampilan tersebut, dan menerapkan keterampilan tersebut ke
dalam berbagai situasi.
5.
DAYA
MUAT KURIKULUM
UU No. 20
Tahun 2003 mengamanatkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa serta bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Selaras dengan dengan hal tersebut, kurikulum
2013 bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan
hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif,
inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia. Orientasi tujuan tersebut diharapkan dapat tercapai melalui
pemilihan karakter kurikulum yang menegaskan (1) keseimbangan
antara sikap spiritual dan sosial, pengetahuan, dan keterampilan, serta
menerapkannya dalam berbagai situasi di sekolah dan masyarakat (2) menempatkan
sekolah sebagai bagian dari masyarakat yang memberikan pengalaman belajar agar pelajar mampu
menerapkan apa yang dipelajari di sekolah ke masyarakat dan memanfaatkan
masyarakat sebagai sumber belajar.
Pengembangan kurikulum 2013 dilandasi oleh pemikiran filosofis
dimana (1) pendidikan berakar pada
budaya bangsa untuk membangun kehidupan bangsa masa kini dan masa mendatang, (2) peserta didik adalah pewaris budaya bangsa yang kreatif, (3) pendidikan ditujukan untuk mengembangkan kecerdasan
intelektual dan kecemerlangan akademik melalui pendidikan disiplin ilmu, (4) pendidikan untuk membangun kehidupan masa kini dan masa
depan yang lebih baik dari masa lalu dengan berbagai kemampuan intelektual,
kemampuan berkomunikasi, sikap sosial, kepedulian, dan berpartisipasi untuk
membangun kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik (experimentalism
and social reconstructivism)
Berlandaskan fungsi dan tujuan tersebut, implementasi
kurikulum ini mengembangkan pola pikir berpusat
pada peserta didik, pembelajaran
interaktif (interaktif guru-peserta didik-masyarakat-lingkungan alam,
sumber/media lainnya), pola
pembelajaran secara jejaring (internet), pendekatan pembelajaran saintifik, pola belajar sendiri dan kelompok, pembelajaran berbasis multimedia, pola pembelajaran berbasis klasikal-massal, pola pembelajaran ilmu pengetahuan jamak (multidisciplines), serta
pola pembelajaran kritis.
Struktur
kurikulum 2013 menempatkan matematika dalam mata pelajaran kelompok A. Adapun
definisi matematika yang digunakan menganut definisi Ebbutt dan Straker yaitu
matematika sekolah sebagai: (1) kegiatan matematika merupakan kegiatan penelusuran
pola dan hubungan, (2) kegiatan matematika memerlukan kreativitas, imajinasi,
intuisi dan penemuan, (3) kegiatan dan hasil-hasil matematika perlu
dikomunikasikan, (4) kegiatan problem solving adalah bagian dari kegiatan
matematika, (5) algoritma merupakan prosedur untuk memperoleh jawaban-jawaban
persoalan matematika, serta (6) interaksi sosial diperlukan dalam kegiatan
matematika.
Mendeskripsikan,
menyajikan, merencanakan dan melaksanakan, menerapkan, mengolah, menganalisis, mengevaluasi,
serta memecahkan masalah merupakan kata kerja operasional yang dipergunakan
dalam Kompetensi Dasar (KD) matematika tingkat SMA. Melalui langkah-langkah
kerja tersebut peserta didik melakukan interaksi dengan pendidik dan sumber
belajar pada suatu lingkungan belajar. Interaksi yang dibangun berbasis pada
proses keilmuan/pendekatan saintifik dimana pengalaman belajar diorganisasikan
menurut urutan logis mengamati, menanya, mengumpulkan informasi/mencoba,
menalar/mengasosiasikan dan mengkomunikasikan
6.
ANALISA
Pembelajaran
dan pendidikan matematika dapat dipandang sebagai salah satu keadaan, sifat
atau nilai yang berperan dalam pembentukan karakter Bangsa. Prinsip-prinsip
dasar pengembangan pendidikan karakter dalam pendidikan matematika meliputi
berbagai proses yang merentang panjang mulai dari usaha untuk mencari informasi
dan pengetahuan tentang karakter serta karakter dalam matematika, pembentukan kesadaran
diri, sikap yang selaras dan harmoni dengan lingkungan, mengembangkan
keterampilan yang menunjukan sifat, sikap dan perilaku berkarakter dalam
pendidikan matematika; aktualisasi diri berkarakter dalam pendidikan
matematika, baik secara sendiri, bersama ataupun dalam jejaring.
Matematika
dan pengetahuan tentangnya memberikan sumbangan yang signifikan dan bahkan menjadi
landasan bagi pengembangan teknologi dan mesin. Kemajuan teknologi
terutama teknologi informasi telah menyumbang pembangunan jaringan informasi
yang kompleks serta akses informasi yang cepat. Secara eksplisit kurikulum 2013 tanggap terhadap
hal tersebut. Hal ini nampak pada pola pikir
kurikulum dimana pembelajaran dilakukan
secara jejaring (internet) serta berbasis multimedia. Perkembangan ini mendorong
aliran gagasan, informasi, orang, uang, barang dan jasa mampu melewati
batas-batas negara dengan kecepatan yang akseleratif, dan hal ini bermula dari
0 dan 1, operasi biner dari matematika.
Namun demikian, teknologi hendaknya
disikapi secara lebih bijak. Keberadaannya tidaklah primer, manusia selayaknya
mengatur mesin, dan bukan mesin yang mengatur manusia. Ketika interaksi manusia
dengan mesin mencapai kegemilangannya, dimana banyak dari aktivitas manusia
terbantu dan bahkan tergantikan oleh kecanggihan teknologi terbentuklah Dehumanisasi.
Dalam dehumanisasi perilaku manusia lebih dikuasai bawah sadarnya daripada
kesadarannya, yang pada akhirnya membentuk manusia mesin, manusia dan
masyarakat massa serta budaya massa. Manusia mesin (l’homme machine)
terjadi karena meluasnya penerapan teknik dalam masyarakat modern. Muaranya
adalah manusia massa (l’homme mass), sebagaimana yang dikemukakan oleh Gabriel
Marcel, seorang filsuf eksistensialis-katolik; dalam masyarakat teknologis, manusia tidak lagi
memahami dirinya berdasarkan gambaran tentang Tuhan (be image of God)
tetapi gambaran tentang mesin (the image of machine) (Kuntowijoyo,
2006).
Mensikapi hal ini, dapatlah kita berlega hati karena
karakter kurikulum telah mengantisipasinya dengan menerapkan keseimbangan antara
sikap spiritual dan sosial, pengetahuan, dan keterampilan, serta penerapannya
dalam berbagai situasi di sekolah dan masyarakat. Bingkainya tercetak pada Kompetensi Inti (KI
1), menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya. Akan tetapi jika
dicermati lebih jeli klausa ‘menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang
dianutnya’ justru menegaskan keterasingan pengetahuan dan keterampilan dari
sikap spiritual. ‘Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya’
berarti pelajar telah memiliki apa yang harus dihayati dan diamalkan, dan ia
tidak akan menemukan dan mendapatkannya dari kompetensi pengetahuan dan
keterampilan yang disediakan, atau secara teknis tidak akan diperoleh dari
objek belajarnya. Apalagi dalam matematika kata kerja mendeskripsikan,
menyajikan, merencanakan dan melaksanakan, menerapkan, mengolah, menganalisis,
mengevaluasi, serta memecahkan masalah diikuti dengan serangkaian konsep yang
merujuk kepada penguatan skill dan pengetahuan matematis.
Keterasingan
ilmu pengetahuan dan keterampilan dari spirit agama ini sedikit banyak dilandasi
oleh filsafat positivism, dalam hal ini buah pikir Auguste Comte, yang membagi evolusi
atau perkembangan pemikiran manusia dalam tiga tingkatan; religious, metafisik dan positif. Pada
tahap religious, semua kejadian yang dialami manusia dianggap berasal atau
bersumber dari kekuatan suatu zat Yang Maha Kuasa. Pada tingkat metafisik,
manusia sudah memahami kejadian yang ada di lingkungannya dan juga alam semesta
berdasarkan kekuatan yang lebih abstrak. Sedangkan pada tahap positif, manusia
sudah memahami sesuatu berdasarkan akal pikiran yang praktis. Tahap positif
inilah yang dinamakan dengan tingkatan ilmiah. David Trueblood menjelaskan pada
tingkatan ketiga (tingkatan sains) manusia membatasi dan mendasarkan
pengetahuannya kepada apa yang terlihat (observable), terukur (measurable),
dan terbukti (verifiable) (Fautanu, 2012).
Suguhan metode ilmiah beserta ukuran yang dapat
dipertanggungjawabkan secara factual dan empiris menjadi sumbangan konstruktif
positivism bagi kemajuan sains dan teknologi. Namun pada sisi lain, positivis
logic mengembangkan paradigma ilmu alam merupakan satu-satunya sumber
pengetahuan yang dapat diandalkan karena dapat diuji secara empiric dan
keyakinan keagamaan merupakan ketidakdewasaan yang akan dituntaskan oleh sains.
Bahkan A.J Ayer, seorang tokohnya mengajukan sebuah pertanyaan apakah ada
gunanya percaya kepada Tuhan? (Armstrong, 2004, p. 485)
Dapatlah
kita mengajukan alibi, bahwa keterasingan matematika sekolah dari spirit agama
ini hanya sekedar asumsi, belum sepenuhnya terbukti. Namun, dengan arah
perkembangan pendidikan matematika Indonesia yang menjadikan TIMMS, PISA dan
NCTM sebagai kiblatnya maka keterasingan itu menjadi konklusi yang tak
terhindarkan. Mengapa demikian? Bukankah TIMMS, PISA, dan NCTM berkembang pada
lingkungan penganut positivisme, dan tidak ada penjamin bahwa ketiganya
terlepas darinya. Selain tenggelam dalam positivism, Roger
Garaudy mensinyalir bahwa filsafat Barat sekarang ini hanya terombang ambing
antara kubu idealis dan kubu materialis.
Apabila
keterasingan matematika dari spirit agama ini benar adanya meski secara samar
dan laten, maka terjadilah apa yang dikenal dengan unconscious objective secularization,
sekularisasi tersembunyi. Penelitian mengenai sekularisasi memang belum
banyak dilakukan, mungkin karena perhatian kita belum sampai ke sana atau
karena sensitifitasnya. Namun gejala-gejalanya telah mulai nampak, baik dalam
bentuk social structural (objective secularization) maupun kesadaran (subjective
secularization). Polanya dapat berupa, menurunnya peran agama, konformitas
dengan ‘dunia’, terpisahnya masyarakat dengan agama, serta perubahan kedudukan kepercayaan dan
institusi keagamaan.
Meski bukan negara agama, Indonesia bukanlah negara secular.
Dan tentunya bukan l’homme machine, l’homme mass dan unconscious objective secularization yang
diinginkan oleh pendidikan nasional Indonesia. Ideologi negara, Pancasila,
sebagai landasan utama penyelenggaraan pendidikan nasional secara tegas
meneguhkan spirit keagamaan daalam sila pertamanya, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan
bahkan kurikulum
2013 pun bertujuan
untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai
pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan
afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara, dan peradaban dunia. Akan tetapi system pengetahuan masyarakat dapat
saja berkembang, berubah dan berbeda dengan ideology Negara dan tujuan
kurikulum. L’homme machine, l’homme mass dan unconscious objective secularization mungkin tidak menimpa
negara, namun bagi masyarakat umum, ketiganya bukan masalah teoritis melainkan
masalah empiris.
7.
KESIMPULAN
Matematika dan pengetahuan tentangnya memberikan sumbangan yang
signifikan dan bahkan menjadi landasan bagi pengembangan teknologi dan
permesinan. Hal ini menjadi pelecut semangat bagi pengembangan
pendidikan matematika khususnya di Indonesia agar lebih memiliki peran dalam
kemaslahatan manusia dan peradaban dunia. Sebagaimana positivism telah memberi
sumbangan pemikiran filsafat bagi kemajuan peradaban sains dan teknologi. Namun
demikian, pengembangan tersebut memerlukan landasan, tujuan dan proses serta
stategi yang lebih terarah, sesuai dengan sifat dan jati diri bangsa Indonesia.
Adopsi, adaptasi serta importasi ilmu pengetahuan dan teknologi dari negara
lain, akan memberikan pencerahan bagi bangsa,namun ada L’homme machine, l’homme
mass dan unconscious objective secularization yang mungkin menjadi
residunya. Transendensi teistik adalah konsekuensi dari postmodernism
yang menghendaki tergabungnya kembali
institusi agama dengan instritusi agama setelah renaissance melakukan
differentiation (pemisahan agama dan dunia).
DAFTAR PUSTAKA
Armstrong, K. (2004). Sejarah tuhan. Bandung: Mizan.
Ediyono, S. (2014). Filsafat pancasila. Yogyakarta:
Kaliwangi Offset.
Ernest, P. (2004). The phylosophy of Mathematics
Education. British: RouTledge Falmer.
Fautanu, I. (2012). Filsafat ilmu. Jakarta: Referensi.
Hudojo, H. (1979). Pengembangan Kurikulum Matematika dan
Pelaksanaannya di depan kelas. Surabaya: Usaha Nasional.
Kuntowijoyo. (2006). Maklumat sastra profetik.
Yogyakarta: Grafindo Litera Media.
Marsigit. (2011, Oktober 8). Pengembangan Nilai-nilai
Matematika dan Pendidikan Matematika sebagai Pilar Pembangunan Karakter Bangsa.
Seminar Nasional Pengembangan Nilai-nilai dan Aplikasi dalam Dunia
Matematika. Semarang, Jawa Tengah, Indonesia: Universitas Negeri Semarang.
Shadiq, F., & Tamimuddin, M. (2015). Bahan belajar:
karakteristik siswa dan teori belajar. Yogyakarta: P4TK Matematika.
Soedjadi, R. (1999). Kiat Pendidikan Matematika di
Indonesia. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.