Selasa, 15 Maret 2016

Model 5

JEJAK “NOL”
Oleh:
Dwi Muryanto

Ribuan tahun lalu, manusia menggunakan jari tangan untuk menjelaskan kuantitas dan hasil penghitungan. Kemudian peradaban mesir kuno, mensimbolkannya dalam Hieroglif. Pada masa itu, belum dikenal adanya bilangan Nol/Zero beserta lambang bilangannya. Ratusan tahun kemudian, manusia mengenal 9 lambang bilangan yakni 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9. Kemudian, datang angka 0, sehingga jumlah lambang bilangan menjadi 10 buah. Penemuan angka nol adalah salah satu peristiwa yang paling  penting dalam Matematika.
Pencetus angka nol ialah Muḥammad bin Mūsā al-Khawārizmī.  Ia adalah seorang ahli matematika, astronomi, astrologi, dan geografi muslim yang berasal dari Persia. Lahir sekitar tahun 780 di Khwārizm (sekarang Khiva, Uzbekistan) dan wafat sekitar tahun 850 di Baghdad. Ia mengembangkan angka India dan kemudian memperkenalkan Sistem Penomoran Desimal (sepuluhan).
Kata Nol/Zero oleh beberapa orang dirasa aneh dan evolusinya bahkan lebih menarik . Kata Nol/Zero bermula dari kata Arab sifr (صفر ) yang berarti kosong, lowong atau hampa, yang merupakan terjemah harfiah dari kata Sansekerta sunya yang berarti batal atau kosong. Shifr ini kemudian ditransliterasikan menjadi zephyr atau Zephyrus dalam bahasa Latin. Dalam bahasa Latin Zephyrus berarti " angin barat " ; meskipun kata benda yang lebih tepat untuk Zephyrus adalah dewa Romawi dari angin barat (setelah dewa Yunani Zephyros). Sejak makna kata Nol datang, Zephyrus tidak lagi bermakna angin barat, namun menjadi “hampir ada angin”, “angin sepoi-sepoi”. Kata zephyr bertahan dengan makna ini diInggris saat ini .
Fibonacci ( C.1170-1250 ) matematikawan Italia, yang dibesarkan di Arab Afrika Utara disinyalir sebagai orang yang memperkenalkan sistem desimal Arab ke Eropa menggunakan terma zephyrum. Kata ini menjadi Zefiro di Italia, yang berubah menjadi Zero dalam dialek Venetian , yang pada akhirnya memberikan kata Zero dalam bahasa Inggris modern.
Pada era modern, penggunaan bilangan nol dan lambang bilangannya telah menyusup jauh ke dalam sendi kehidupan manusia. Sistem berhitung tidak mungkin lagi mengabaikan kehadiran bilangan nol, sekalipun bilangan nol itu terkadang membuat kekacauan logika.
Nol, penyebab komputer macet
Bilangan nol itu secara intuitif mewakili sesuatu yang tidak ada dan yang tidak ada itu ada, yakni nol. Siapa yang tidak bingung? Tiap kali bilangan nol muncul dalam pelajaran Matematika selalu ada ide yang aneh. Seperti ide jika sesuatu yang ada dikalikan dengan 0 maka menjadi tidak ada. Mungkinkah 5×0 menjadi tidak ada?. Ide ini membuat orang frustrasi. Apakah nol ahli sulap?
Aturan lain tentang nol yang juga misterius adalah bahwa suatu bilangan jika dibagi nol tidak didefinisikan. Maksudnya, bilangan berapa pun yang tidak bisa dibagi dengan nol. Komputer yang canggih bagaimana pun akan mati mendadak jika tiba-tiba bertemu dengan pembagi angka nol. Komputer memang diperintahkan berhenti berpikir jika bertemu sang divisor nol.
NAMA PERIODE
TAHUN
KETERANGAN
Babylonia, Mesir Kuno, Amerika Kuno
3000 – 601 SM
Babylonia : Basis 60, belum memiliki symbol 0
Mesir Kuno: Hieroglif, belum memiliki symbol 0
Yunani, Cina dan Romawi
600 SM – 499 M

Hindu dan Persia
500 – 1199 M
Hindu : Sexadesimal, belum memiliki symbol 0
Transisi
1200 – 1599 M
Sistem numeral Hindu-Arab. Mulai ada symbol 0
Age of reason
1600 – 1699 M

Awal Modern
1700 – 1799 M
Metrik sistem
Modern
1800 – Sekarang
Era komputer

Bilangan cacah disusun berdasarkan hierarki menurut satu garis lurus. Pada titik awal adalah bilangan nol, kemudian bilangan 1, 2, dan seterusnya. Bilangan yang lebih besar di sebelah kanan dan bilangan yang lebih kecil di sebelah kiri. Semakin jauh ke kanan akan semakin besar bilangan itu. Berdasarkan derajat hierarki (dan birokrasi bilangan), seseorang jika berjalan dari titik 0 terus-menerus menuju angka yang lebih besar ke kanan akan sampai pada bilangan yang tidak terhingga. Tetapi, mungkin juga orang itu sampai pada titik 0 kembali. Bukankah dunia ini bulat? Mungkinkah? Bukankah Columbus mengatakan bahwa kalau ia berlayar terus-menerus ia akan sampai kembali ke Eropa?
Jika seseorang berangkat dari nol, ia tidak mungkin sampai ke bilangan 4 tanpa melewati terlebih dahulu bilangan 1, 2, dan 3. Tetapi, yang lebih aneh adalah pertanyaan mungkinkan seseorang bisa berangkat dari titik nol? Jelas tidak bisa, karena bukankah titik nol sesuatu titik yang tidak ada? Aneh dan sulit dipercaya? Mari kita lihat lebih jauh.
Bergerak, tetapi diam
Bilangan tidak hanya terdiri atas bilangan bulat, tetapi juga ada bilangan desimal antara lain dari 0,1; 0,01; 0,001; dan seterusnya sekuat-kuat kita bisa menyebutnya sampai sedemikian kecilnya. Karena sangat kecil tidak bisa lagi disebut atau tidak terhingga dan pada akhirnya dianggap nol saja. Tetapi, ide ini ternyata sempat membingungkan karena jika bilangan tidak terhingga kecilnya dianggap nol maka berarti nol adalah bilangan terkecil, Padahal, nol mewakili sesuatu yang tidak ada!

Minggu, 06 Maret 2016

KESERASIAN LANDASAN, TUJUAN DAN DAYA MUAT
KURIKULUM PENDIDIKAN MATEMATIKA


A.       PENDAHULUAN
Para pendiri bangsa Indonesia menyatakan bahwa deklarasi kemerdekaan adalah berkat rahmat Alloh Yang Maha Kuasa serta diilhami oleh nilai-nilai luhur bangsa yaitu anti penjajahan, kemanusiaan dan peradaban, kebersamaan serta keadilan sosial. Hal-hal tersebut kemudian dinyatakan sebagai ideologi negara, Pancasila. Bung Karno, salah satu proklamator kemerdekaan, pernah menyatakan bahwa bangsa Indonesia harus berdaulat dalam politik, mandiri/berdikari dalam ekonomi serta berkepribadian dalam berbudaya dengan mengikuti cara berfikir Ki Hadjar Dewantara yaitu sifat yang tetap, namun dengan bentuk, isi dan irama yang harus berkembang selaras mengikuti perubahan jaman.
Perubahan geo-politik dan kemajuan teknologi telah menggerakkan arus globalisasi menjadi tantangan jaman yang tidak dapat terhindarkan. Batas-batas maya antar negara menjadi hilang, liberalisasi dalam berbagai hal bermunculan. Daya saing serta aliansi strategis bangsa dalam komunitas regional dan global menjadi taruhan. Hal ini tentunya membutuhkan modal manusia Indonesia yang tanggap, cakap, tangguh dan berkualitas, yaitu manusia yang cerdas secara spiritual, moral, intelektual, estetikal serta kinestetikal. Modal manusia itulah satu-satunya sumber daya aktif yang dapat dikembangkan melalui pendidikan.
Mengingat arti penting pendidikan bagi keberlangsungan dan kemajuan bangsa, tujuan pendidikan nasional haruslah  mencakup spesifikasi lokal, jati diri bangsa serta aliansi strategis Indonesia dalam kancah regional dan internasional. Pendidikan selayaknya mampu membentuk peserta didik menjadi pewaris nilai-nilai luhur bangsa serta mampu melestarikan dan mengembangkan daya progresifnya. Jati diri bangsa Indonesia sebagai bangsa religius yang berketuhanan dengan kekayaan alam yang melimpah serta kemajemukan suku bangsanya harus mendapatkan perhatian dalam pengembangan pendidikan nasional.
Tulisan berikut ini mencoba untuk mengetengahkan pembahasan keserasian landasan, daya muat dan tujuan pendidikan matematika sekolah di Indonesia yang tercermin dari kurikulum nasional dari sudut pandang filsafat.
B.       FILSAFAT ILMU
Filsafat, padanan katanya dapat berupa falsafah atau philosophy, bersumber dari istilah Yunani philosophia. Akar katanya terambil dari philein (bijaksana), philos (teman), Sophos (bijaksana) serta sophia (hikmah/kebijaksanaan). Secara harfiah, filsafat dapat diartikan sebagai mencintai hal-hal yang bersifat bijaksana atau teman kebijaksanaan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu penglihatan yang luas, mendalam dan menyeluruh dengan sikap sadar, dewasa, dan bijaksana dalam memikirkan segala sesuatu. Menurut Sutan Takdir Alisjahbana, terdapat dua syarat berfikir yang disebut berfilsafat yaitu: berfikir dengan teliti serta berfikir menurut aturan yang pasti (Fautanu, 2012).
Filsafat menempatkan pengetahuan sebagai pokok pembahasan, sedangkan pengetahuan tidak dapat terlepas dari pendidikan. Oleh karenanya, filsafat sangat berpengaruh dalam aktifitas pendidikan seperti perencanaan pendidikan, manajemen pendidikan, evaluasi pendidikan, dan juga pendidikan matematika. Terdapat beragam aliran dalam filsafat sebagaimana bermacamnya cabang dari filsafat itu sendiri.
Filsafat matematika sendiri telah lahir dalam bentuk awal sejak ribuan tahun yang lalu. Ia muncul ketika orang meminta pertanggungjawaban akan kebenaran matematika. Perkembangan yang dinilai penting diwakili oleh Pythagoras dan para pengikutnya, yang berkeyakinan bahwa bilangan adalah yang paling bertanggung jawab dalam mengatur semesta, “Numbers rules the universe” (bilangan menentukan alam semesta).
Tulisan ini tidak akan membahas filsafat dan atau filsafat matematika secara mendalam, sebatas mengetengahkan aliran filsafat yang berkaitan dengan persoalan sumber dan hakikat pengetahuan.
Pemikiran filsafat yang bertalian dengan sumber pengetahuan dijawab oleh aliran berikut ini (Ediyono, 2014):
1.        Rasionalisme
Rasionalisme adalah faham filsafat yang menyatakan bahwa akal adalah alat penting dalam memperoleh dan menguji pengetahuan. Semua pengetahuan bersumber pada akal dan hasilnya diukur dengan akal pula. Bahan pengetahuan diperoleh dari indera kemudian diolah oleh akal dengan metode deduksi sehingga terbentuklah pengetahuan. Dengan akal itulah aturan untukmengatur manusia dan alam dibuat. Rasionalisme tidak mengingkari pengalaman, melainkan hanya dipandang sebagai perangsang bagi pikiran.
Sejak era Thomas Aquinas, teologi barat cenderung menekankan pentingnya rasionalitas, namun rasionalisme yang berlebihan akan bersifat reduktif karena mengabaikan aktivitas imajinatif dan intuitif manusia (Armstrong, 2004, p. 447). Tokoh-tokoh rasionalisme diantaranya: Rene Descartes, G.W. Liebniz, Blaise Pascal
2.        Empirisme
Empirisme adalah faham filsafat yang menyatakan bahwa pengetahuan diperoleh dari alam objektif. Indera memperoleh kesan dari alam nyata kemudian berkumpul dalam diri menjadi pengalaman. Pengetahuan diperoleh dengan penyusunan dan pengaturan pengalaman.
3.        Realisme
Aliran filsafat yang menyatakan bahwa objek-objek yang diketahui adalah nyata dalam dirinya, tidak bergantung pada pikiran, tidak tergantung pada yang mengetahui atau yang menyerap. Gagasan utama dari realisme adalah bahwasanya sumber pengetahuan didapatkan dari dua hal, yaitu observasi dan pengembangan pemikiran baru dari observasi yang dilakukan. Dalam konteks ini, ilmuwan dapat saja menganalisa kategori fenomena-fenomena yang secara teoritis eksis meski secara faktual tidak dapat diobservasi secara langsung. Seorang realisme naif akan merasa aman dengan pandangan umum bahwa matematika berada di luar dirinya baik ketika matematika ditampilkan kepada dirinya melalui persepsi inderawi ataupun ketika tidak ditampilkan sekalipun.
4.        Kritisisme
Akal menerima bahan pengetahuan yang masih kacau dari pengalaman. Akal kemudian mengatur dan menertibkannya dalam bentuk pengamatan terhadap ruang dan waktu

Setelah pembahasan aliran filsafat yang berkenaan dengan sumber pengetahuan, pemikiran filsafat yang menekankan pada hakikat pengetahuan dijawab oleh aliran berikut ini (Ediyono, 2014):
1.        Idealisme
Idealisme berasal dari kata ide yang artinya adalah dunia di dalam jiwa. Pandangan aliran ini lebih menekankan hal-hal bersifat ide, dan merendahkan hal-hal yang bersifat fisik dan materi. Idealisme adalah tradisi pemikiran filsafat yang berpandangan bahwa doktrin tentang realitas eksternal tidak dapat dipahami secara terpisah dari kesadaran manusia. Realitas sendiri dijelaskan dengan gejala-gejala psikis, roh, pikiran, diri, pikiran mutlak, dan bukan berkenaan dengan materi. Dengan kata lain kategori, ide, dan gagasan telah eksis di dalam ruang kesadaran manusia terlebih dahulu sebelum adanya pengalaman-pengalaman inderawi.
2.        Empirisme
Berbeda dengan idealism, empirisme menekankan bahwasanya hakikat pengetahuan manusia bersifat terbatas pada apa yang dapat diamati dan diuji. Oleh karenanya empirisme memiliki sifat kritis terhadap abstraksi dan spekulasi dalampengetahuan. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Empirisme lahir di Inggris dengan tiga tokohnya adalah David Hume, George Berkeley dan John Locke
3.        Positivisme
Positivisme berasal dari kata positive yang bermakna peristiwa yang benar-benar terjadi. Positivism aliran filsafat yang menempatkan peran sentral pengalaman dan bukti empiris sebagai basis dari ilmu pengetahuan dan penelitian. Terminologi positivisme dikenalkan oleh Auguste Comte untuk menolak doktrin nilai subyektif, digantikan oleh fakta yang bisa diamati. Penerapan metode ini untuk membangun ilmu pengetahuan modern yang diabdikan untuk memperbaiki kehidupan manusia.
Positivism dinilai sebagai sebuah gerakan revolusi dalam dunia pengetahuan. Pada dasarnya positivisme bukanlah suatu aliran yang berdiri sendiri, ia hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme. Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran adalah sesuatu yang logis, terdapat bukti empiris serta terukur. Terukur inilah sumbangan penting dari aliran ini.
4.        Pragmatisme
Aliran ini tidak mempersoalkan hakikat pengetahuan, tetapi mempertanyakan apa kegunaan pengetahuan tersebut. Tradisi pragmatism muncul sebagai reaksi terhadap tradisi idealisme yang dominan yang menganggap kebenaran sebagai entitas yang abstrak, sistematis dan refleksi dari realitas. Pragmatism berargumentasi bahwa filsafat ilmu haruslah meninggalkan ilmu pengetahuan transedental dan menggantinya dengan aktifitas manusia sebagai sumber pengetahuan. Bagi para penganut mazhab pragmatisme, ilmu pengetahuan dan kebenaran adalah sebuah perjalanan dan bukan sebuah tujuan.
C.     PENDIDIKAN MATEMATIKA
Terdapat beragam pengertian mengenai matematika. Ia dapat dipandang sebagai ilmu dunia nyata dimana banyak konsep matematika muncul dari usaha manusia memecahkan persoalan dunia nyata (Marsigit, 2011). Namun matematika berkenaan pula dengan ide-ide, struktur dan hubungannya serta konsep-konsep abstrak (Hudojo, 1979). Terdapat tiga macam pengertian elementer mengenai matematika:
1.        Matematika sebagai ilmu pengetahuan tentang bilangan dan ruang.
2.        Matematika sebagai studi ilmu pengetahuan tentang klasifikasi dan konstruksi berbagai struktur dan pola yang dapat diimajinasikan.
3.        Matematika sebagai kegiatan yang dilakukan oleh para matematikawan

Soedjadi (1999:13), mengetengahkan karakteristik-karakteristik dari matematika yaitu: memiliki objek abstrak, bertumpu pada kesepakatan, berpola pikir deduktif, memiliki simbol yang kosong arti, memperhatikan semesta pembicaraan, dan konsisten dalam sistemnya. Teks/simbol matematika yang kosong arti ini dikemukakan pula oleh Derida, mathematical texts are empty of meaning. Lebih lanjut Derida mengungkapkan bahwa makna matematika harus dikonstruksikan oleh seseorang baik secara individu maupun berkelompok berdasarkan pengetahuan faktual mereka melalui penggunaan konteks (Ernest, 2004).
Konteks menjadi penting digunakan dalam pembelajaran karena hanya sebagian siswa yang menerima pelajaran matematika pada akhirnya akan tetap menggunakan atau menerapkan matematika yang dipelajarinya. Oleh karenanya, penggunaan konteks menjadi jembatan untuk menanamkan nilai-nilai matematika sebagai komponen penting dalam pembelajaran matematika di kelas. Menurut Hartman (dalam Marsigit), nilai (value) matematika paling sedikit memuat empat dimensi, nilai matematika karena maknanya, matematika karena keunikannya, nilai matematika karena tujuannya, serta nilai matematika karena fungsinya. Keempat dimensi nilai tersebut, dapat bersifat: intrinsik, ekstrinsik, maupun sistemik.
Apabila seseorang menguasai matematika hanya untuk pribadinya maka pengetahuan matematikanya bersifat intrinsik; apabila dia bisa menerapkan matematika untuk kehidupan sehari-hari maka pengetahuan matematikanya bersifat ekstrinsik; dan apabila dia dapat mengembangkan matematika dalam kancah pergaulan masyarakat maka pengetahuan matematikanya bersifat sistemik
Selain tata nilai (value), hal utama dalam setiap kegiatan belajar adalah interaksi dengan objek belajar. Objek matematika yang diperoleh pelajar dapat berupa objek langsung dan objek tak langsung. Objek langsung adalah fakta (fact), konsep (concept), prinsip (principle), dan keterampilan (skill). Sedangkan objek tak langsungnya dapat berupa berpikir logis, kemampuan memecahkan masalah, sikap positif terhadap matematika, ketekunan, ketelitian, dan lain-lain. Jadi, objek tak langsung adalah kemampuan yang secara tak langsung akan dipelajari pelajar ketika mereka mempelajari objek langsung matematika (Shadiq & Tamimuddin, 2015). Berikut adalah uraian mengenai objek langsung matematika:
1.    Fakta
Fakta adalah semua konvensi (kesepakatan) dalam matematika, seperti ekspresi, aturan serta simbol-simbol matematika. Seseorang dikatakan memahami fakta apabila ia telah dapat menyebutkan dan menggunakannya secara tepat.
2.    Konsep
Konsep adalah suatu ide abstrak yang memungkinkan seseorang untuk dapat menentukan/mengklasifikasi suatu objek kemudian menerangkan apakah objek tersebut merupakan contoh atau bukan contoh. Belah ketupat sebagai segiempat yang panjang atau ukuran keempat sisinya adalah sama merupakan contoh konsep dalam matematika. Seseorang  dikatakan menguasai konsep jajar genjang apabila ia mampu mengidentifikasi contoh dan kontracontoh konsep tersebut.
3.    Prinsip
Prinsip adalah rangkaian beberapa konsep secara bersama-sama beserta hubungan (keterkaitan) antar konsep tersebut. Seseorang dikatakan menguasai prinsip apabila ia dapat mengidentifikasi konsep-konsep yang terkandung di dalam prinsip tersebut, menentukan hubungan antar konsep, dan menerapkan prinsip tersebut ke dalam situasi yang tepat
4.    Keterampilan
Keterampilan adalah operasi atau prosedur yang diharapkan dapat dikuasai seseorang secara cepat dan tepat. Seseorang dikatakan menguasai keterampilan apabila ia dapat menunjukkan keterampilan tersebut secara tepat, dapat menyelesaikan berbagai jenis masalah yang memerlukan keterampilan tersebut, dan menerapkan keterampilan tersebut ke dalam berbagai situasi.

5.       DAYA MUAT KURIKULUM
UU No. 20 Tahun 2003 mengamanatkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa serta bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Selaras dengan dengan hal tersebut, kurikulum 2013 bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia. Orientasi tujuan tersebut diharapkan dapat tercapai melalui pemilihan karakter kurikulum yang menegaskan (1) keseimbangan antara sikap spiritual dan sosial, pengetahuan, dan keterampilan, serta menerapkannya dalam berbagai situasi di sekolah dan masyarakat (2) menempatkan sekolah sebagai bagian dari masyarakat yang memberikan pengalaman belajar agar pelajar mampu menerapkan apa yang dipelajari di sekolah ke masyarakat dan memanfaatkan masyarakat sebagai sumber belajar.
Pengembangan kurikulum 2013 dilandasi oleh pemikiran filosofis dimana (1) pendidikan berakar pada budaya bangsa untuk membangun kehidupan bangsa masa kini dan masa mendatang, (2) peserta didik adalah pewaris budaya bangsa yang kreatif, (3) pendidikan ditujukan untuk mengembangkan kecerdasan intelektual dan kecemerlangan akademik melalui pendidikan disiplin ilmu, (4) pendidikan untuk membangun kehidupan masa kini dan masa depan yang lebih baik dari masa lalu dengan berbagai kemampuan intelektual, kemampuan berkomunikasi, sikap sosial, kepedulian, dan berpartisipasi untuk membangun kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik (experimentalism and social reconstructivism)
Berlandaskan fungsi dan tujuan tersebut, implementasi kurikulum ini mengembangkan pola pikir berpusat pada peserta didik, pembelajaran interaktif (interaktif guru-peserta didik-masyarakat-lingkungan alam, sumber/media lainnya), pola pembelajaran secara jejaring (internet), pendekatan pembelajaran saintifik, pola belajar sendiri dan kelompok, pembelajaran berbasis multimedia, pola pembelajaran berbasis klasikal-massal, pola pembelajaran ilmu pengetahuan jamak (multidisciplines), serta pola pembelajaran kritis.
Struktur kurikulum 2013 menempatkan matematika dalam mata pelajaran kelompok A. Adapun definisi matematika yang digunakan menganut definisi Ebbutt dan Straker yaitu matematika sekolah sebagai: (1) kegiatan matematika merupakan kegiatan penelusuran pola dan hubungan, (2) kegiatan matematika memerlukan kreativitas, imajinasi, intuisi dan penemuan, (3) kegiatan dan hasil-hasil matematika perlu dikomunikasikan, (4) kegiatan problem solving adalah bagian dari kegiatan matematika, (5) algoritma merupakan prosedur untuk memperoleh jawaban-jawaban persoalan matematika, serta (6) interaksi sosial diperlukan dalam kegiatan matematika.
Mendeskripsikan, menyajikan, merencanakan dan melaksanakan, menerapkan, mengolah, menganalisis, mengevaluasi, serta memecahkan masalah merupakan kata kerja operasional yang dipergunakan dalam Kompetensi Dasar (KD) matematika tingkat SMA. Melalui langkah-langkah kerja tersebut peserta didik melakukan interaksi dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Interaksi yang dibangun berbasis pada proses keilmuan/pendekatan saintifik dimana pengalaman belajar diorganisasikan menurut urutan logis mengamati, menanya, mengumpulkan informasi/mencoba, menalar/mengasosiasikan dan mengkomunikasikan
6.       ANALISA
Pembelajaran dan pendidikan matematika dapat dipandang sebagai salah satu keadaan, sifat atau nilai yang berperan dalam pembentukan karakter Bangsa. Prinsip-prinsip dasar pengembangan pendidikan karakter dalam pendidikan matematika meliputi berbagai proses yang merentang panjang mulai dari usaha untuk mencari informasi dan pengetahuan tentang karakter serta karakter dalam matematika, pembentukan kesadaran diri, sikap yang selaras dan harmoni dengan lingkungan, mengembangkan keterampilan yang menunjukan sifat, sikap dan perilaku berkarakter dalam pendidikan matematika; aktualisasi diri berkarakter dalam pendidikan matematika, baik secara sendiri, bersama ataupun dalam jejaring.
Matematika dan pengetahuan tentangnya memberikan sumbangan yang signifikan dan bahkan menjadi landasan bagi pengembangan teknologi dan mesin. Kemajuan teknologi terutama teknologi informasi telah menyumbang pembangunan jaringan informasi yang kompleks serta akses informasi yang cepat. Secara eksplisit kurikulum 2013 tanggap terhadap hal tersebut. Hal ini nampak pada pola pikir kurikulum dimana pembelajaran dilakukan secara jejaring (internet) serta berbasis multimedia. Perkembangan ini mendorong aliran gagasan, informasi, orang, uang, barang dan jasa mampu melewati batas-batas negara dengan kecepatan yang akseleratif, dan hal ini bermula dari 0 dan 1, operasi biner dari matematika.
Namun demikian, teknologi hendaknya disikapi secara lebih bijak. Keberadaannya tidaklah primer, manusia selayaknya mengatur mesin, dan bukan mesin yang mengatur manusia. Ketika interaksi manusia dengan mesin mencapai kegemilangannya, dimana banyak dari aktivitas manusia terbantu dan bahkan tergantikan oleh kecanggihan teknologi terbentuklah Dehumanisasi. Dalam dehumanisasi perilaku manusia lebih dikuasai bawah sadarnya daripada kesadarannya, yang pada akhirnya membentuk manusia mesin, manusia dan masyarakat massa serta budaya massa. Manusia mesin (l’homme machine) terjadi karena meluasnya penerapan teknik dalam masyarakat modern. Muaranya adalah manusia massa (l’homme mass), sebagaimana yang dikemukakan oleh Gabriel Marcel, seorang filsuf eksistensialis-katolik; dalam masyarakat teknologis, manusia tidak lagi memahami dirinya berdasarkan gambaran tentang Tuhan (be image of God) tetapi gambaran tentang mesin (the image of machine) (Kuntowijoyo, 2006).
Mensikapi hal ini, dapatlah kita berlega hati karena karakter kurikulum telah mengantisipasinya dengan menerapkan keseimbangan antara sikap spiritual dan sosial, pengetahuan, dan keterampilan, serta penerapannya dalam berbagai situasi di sekolah dan masyarakat. Bingkainya tercetak pada Kompetensi Inti (KI 1), menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya. Akan tetapi jika dicermati lebih jeli klausa ‘menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya’ justru menegaskan keterasingan pengetahuan dan keterampilan dari sikap spiritual. ‘Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya’ berarti pelajar telah memiliki apa yang harus dihayati dan diamalkan, dan ia tidak akan menemukan dan mendapatkannya dari kompetensi pengetahuan dan keterampilan yang disediakan, atau secara teknis tidak akan diperoleh dari objek belajarnya. Apalagi dalam matematika kata kerja mendeskripsikan, menyajikan, merencanakan dan melaksanakan, menerapkan, mengolah, menganalisis, mengevaluasi, serta memecahkan masalah diikuti dengan serangkaian konsep yang merujuk kepada penguatan skill dan pengetahuan matematis.
Keterasingan ilmu pengetahuan dan keterampilan dari spirit agama ini sedikit banyak dilandasi oleh filsafat positivism, dalam hal ini buah pikir Auguste Comte, yang membagi evolusi atau perkembangan pemikiran manusia dalam tiga tingkatan; religious, metafisik dan positif. Pada tahap religious, semua kejadian yang dialami manusia dianggap berasal atau bersumber dari kekuatan suatu zat Yang Maha Kuasa. Pada tingkat metafisik, manusia sudah memahami kejadian yang ada di lingkungannya dan juga alam semesta berdasarkan kekuatan yang lebih abstrak. Sedangkan pada tahap positif, manusia sudah memahami sesuatu berdasarkan akal pikiran yang praktis. Tahap positif inilah yang dinamakan dengan tingkatan ilmiah. David Trueblood menjelaskan pada tingkatan ketiga (tingkatan sains) manusia membatasi dan mendasarkan pengetahuannya kepada apa yang terlihat (observable), terukur (measurable), dan terbukti (verifiable) (Fautanu, 2012).
Suguhan metode ilmiah beserta ukuran yang dapat dipertanggungjawabkan secara factual dan empiris menjadi sumbangan konstruktif positivism bagi kemajuan sains dan teknologi. Namun pada sisi lain, positivis logic mengembangkan paradigma ilmu alam merupakan satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat diandalkan karena dapat diuji secara empiric dan keyakinan keagamaan merupakan ketidakdewasaan yang akan dituntaskan oleh sains. Bahkan A.J Ayer, seorang tokohnya mengajukan sebuah pertanyaan apakah ada gunanya percaya kepada Tuhan? (Armstrong, 2004, p. 485)
Dapatlah kita mengajukan alibi, bahwa keterasingan matematika sekolah dari spirit agama ini hanya sekedar asumsi, belum sepenuhnya terbukti. Namun, dengan arah perkembangan pendidikan matematika Indonesia yang menjadikan TIMMS, PISA dan NCTM sebagai kiblatnya maka keterasingan itu menjadi konklusi yang tak terhindarkan. Mengapa demikian? Bukankah TIMMS, PISA, dan NCTM berkembang pada lingkungan penganut positivisme, dan tidak ada penjamin bahwa ketiganya terlepas darinya. Selain tenggelam dalam positivism, Roger Garaudy mensinyalir bahwa filsafat Barat sekarang ini hanya terombang ambing antara kubu idealis dan kubu materialis.
Apabila keterasingan matematika dari spirit agama ini benar adanya meski secara samar dan laten, maka terjadilah apa yang dikenal dengan unconscious objective secularization, sekularisasi tersembunyi. Penelitian mengenai sekularisasi memang belum banyak dilakukan, mungkin karena perhatian kita belum sampai ke sana atau karena sensitifitasnya. Namun gejala-gejalanya telah mulai nampak, baik dalam bentuk social structural (objective secularization) maupun kesadaran (subjective secularization). Polanya dapat berupa, menurunnya peran agama, konformitas dengan ‘dunia’, terpisahnya masyarakat dengan agama,  serta perubahan kedudukan kepercayaan dan institusi keagamaan.
Meski bukan negara agama, Indonesia bukanlah negara secular. Dan tentunya bukan lhomme machine, lhomme mass dan unconscious objective secularization yang diinginkan oleh pendidikan nasional Indonesia. Ideologi negara, Pancasila, sebagai landasan utama penyelenggaraan pendidikan nasional secara tegas meneguhkan spirit keagamaan daalam sila pertamanya, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan bahkan kurikulum 2013 pun bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia. Akan tetapi system pengetahuan masyarakat dapat saja berkembang, berubah dan berbeda dengan ideology Negara dan tujuan kurikulum. L’homme machine, lhomme mass dan unconscious objective secularization mungkin tidak menimpa negara, namun bagi masyarakat umum, ketiganya bukan masalah teoritis melainkan masalah empiris.

7.       KESIMPULAN
Matematika dan pengetahuan tentangnya memberikan sumbangan yang signifikan dan bahkan menjadi landasan bagi pengembangan teknologi dan permesinan. Hal ini menjadi pelecut semangat bagi pengembangan pendidikan matematika khususnya di Indonesia agar lebih memiliki peran dalam kemaslahatan manusia dan peradaban dunia. Sebagaimana positivism telah memberi sumbangan pemikiran filsafat bagi kemajuan peradaban sains dan teknologi. Namun demikian, pengembangan tersebut memerlukan landasan, tujuan dan proses serta stategi yang lebih terarah, sesuai dengan sifat dan jati diri bangsa Indonesia. Adopsi, adaptasi serta importasi ilmu pengetahuan dan teknologi dari negara lain, akan memberikan pencerahan bagi bangsa,namun ada L’homme machine, lhomme mass dan unconscious objective secularization yang mungkin menjadi residunya. Transendensi teistik adalah konsekuensi dari postmodernism yang menghendaki  tergabungnya kembali institusi agama dengan instritusi agama setelah renaissance melakukan differentiation (pemisahan agama dan dunia).



DAFTAR PUSTAKA

Armstrong, K. (2004). Sejarah tuhan. Bandung: Mizan.
Ediyono, S. (2014). Filsafat pancasila. Yogyakarta: Kaliwangi Offset.
Ernest, P. (2004). The phylosophy of Mathematics Education. British: RouTledge Falmer.
Fautanu, I. (2012). Filsafat ilmu. Jakarta: Referensi.
Hudojo, H. (1979). Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaannya di depan kelas. Surabaya: Usaha Nasional.
Kuntowijoyo. (2006). Maklumat sastra profetik. Yogyakarta: Grafindo Litera Media.
Marsigit. (2011, Oktober 8). Pengembangan Nilai-nilai Matematika dan Pendidikan Matematika sebagai Pilar Pembangunan Karakter Bangsa. Seminar Nasional Pengembangan Nilai-nilai dan Aplikasi dalam Dunia Matematika. Semarang, Jawa Tengah, Indonesia: Universitas Negeri Semarang.
Shadiq, F., & Tamimuddin, M. (2015). Bahan belajar: karakteristik siswa dan teori belajar. Yogyakarta: P4TK Matematika.
Soedjadi, R. (1999). Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.