Jumat, 24 Juni 2016

Model 14

FORMAL (2)

PENDAHULUAN
Matematika merupakan buah pikir manusia yang kebenarannya bersifat umum, memiliki struktur ketat, terdiri atas aksioma, definisi, dan teorema yang dibangun dengan suatu struktur logika[1]. Pengetahuan matematika direpresentasikan melalui proses berpikir analitik dan logis. Hal ini menunjukkan bahwa berpikir matematis diperoleh melalui proses mental sadar yang didasari oleh logika matematika serta bukti matematika. 
Proses pengaitan antara notasi dan simbol dengan ide-ide matematika memerlukan aktivitas mental yang disebut kognisi formal (formal cognition). Kognisi formal merupakan kognisi yang dikontrol oleh logika matematika dan bukti matematika baik melalui induksi maupun deduksi matematika.  Penalaran yang konklusinya (kesimpulan) lebih luas dari premisnya (dasar penyimpulan) disebut induksi, sedangkan penalaran dimana konklusinya tidak lebih luas dari premisnya disebut deduksi[2].

Perkembangan Logika[3]
Logika pertama-tama disusun oleh Aristoteles (384-322 SM)[4], sebagai sebuah ilmu tentang hukum-hukum berpikir guna memelihara jalan pikiran dari setiap kekeliruan. Logika sebagai ilmu baru pada waktu itu, disebut dengan nama “analitika” dan “dialektika”. Kumpulan karya tulis Aristoteles mengenai logika diberi nama Organon, terdiri atas enam bagian. Theoprastus (371-287 SM), memberi sumbangan terbesar dalam logika melalui penafsirannya tentang pengertian yang mungkin dan juga tentang sebuah sifat asasi dari setiap kesimpulan. Porphyrius (233-306 M), seorang ahli pikir di Iskandariah menambahkan satu bagian baru dalam pelajaran logika. Bagian baru ini disebut Eisagoge, yakni sebagai pengantar Categorie. Dalam bagian baru ini dibahas lingkungan-lingkungan zat dan lingkungan-lingkungan sifat di dalam alam, yang biasa disebut dengan klasifikasi. Dengan demikian, logika menjadi tujuh bagian.
Al-Farabi (873-950 M) yang terkenal mahir dalam bahasa Yunani Tua, menyalin seluruh karya tulis Aristoteles dalam berbagai bidang ilmu dan karya tulis ahli-ahli pikir Yunani lainnya. Al-Farabi menyalin dan memberi komentar atas tujuh bagian logika dan menambahkan satu bagian baru sehingga menjadi delapan bagian.
Petrus Hispanus (meninggal 1277 M) menyusun pelajaran logika berbentuk sajak bernama Summulae. Petrus Hispanus inilah yang mula-mula mempergunakan berbagai nama untuk sistem penyimpulan yang sah dalam perkaitan bentuk silogisme kategorik dalam sebuah sajak.
Francis Bacon (1561-1626 M) melancarkan serangan sengketa terhadap logika dan menganjurkan penggunaan sistem induksi secara lebih luas. Serangan Bacon terhadap logika ini memperoleh sambutan hangat dari berbagai kalangan di Barat, kemudian perhatian lebih ditujukan kepada penggunaan sistem induksi. Pembaruan logika di Barat berikutnya disusul oleh lain-lain penulis di antaranya adalah Gottfried Wilhem von Leibniz. Ia menganjurkan penggantian pernyataan-pernyataan dengan simbol-simbol agar lebih umum sifatnya dan lebih mudah melakukan analisis. George Boole (1815-1864)[5] seorang ahli matematika Inggris, mengerjakan logika Aristoteles sebagai aljabar. Dalam sistemanya setiap kelas dilambangkan dengan huruf. Demikian juga Leonard Euler,seorang ahli matematika dan logika Swiss melakukan pembahasan tentang term-term dengan menggunakan lingkaran-lingkaran untuk melukiskan hubungan antarterm yang terkenal dengan sebutan circle-Euler.
John Stuart Mill (1806-1873), salah seorang tokoh terpenting dalam perkembangan logika induktif[6] mempertemukan sistem induksi dengan sistem deduksi. Setiap pangkal-pikir besar di dalam deduksi memerlukan induksi dan sebaliknya induksi memerlukan deduksi bagi penyusunan pikiran mengenai hasil-hasil eksperimen dan penyelidikan. Jadi, kedua-duanya bukan merupakan bagian-bagian yang saling terpisah, tetapi sebetulnya saling membantu. Mill sendiri merumuskan metode-metode bagi sistem induksi, terkenal dengan sebutan Four Methods. Dan sejak pertengahan abad ke-19 mulai lahir satu cabang baru yang disebut dengan Logika-Simbolik. Pelopor logika simbolik pada dasarnya sudah dimulai oleh Leibniz
Logika Aristoteles
Logika artificial disebut juga logika tradisional oleh karena kelahirannya sebagai tradisi kuno semenjak Aristoteles (384-322 SM) berhasil merumuskan ilmu tentang kaidah berpikir benar secara sistematis serta membukukannya dalam “Organon”[7]. Organon dapat artikan sebagai alat atau instrument. Ilmu logika pada awalnya diberi nama “analytica” dengan intisari ajarannya ‘syllogisme’ yang berarti suatu uraian terkunci[8]. Terdapat setidaknya dua jenis silogisme; hipotetik dan kondisional.
Logika Aristoteles bersumber dari prinsip dasar berpikiir dari Sokrates. Tugas utama ilmu logika ialah mengakui hubungan yang tepat antara yang umum dan yang khusus. Oleh karenanya keterangan-keterangan ilmiah berarti menunjukkan prinsip dasar tentang berlakunya uraian yang bersumber dari keterangan yang bersifat umum.
Prinsip atau hukum dalam logika menurut Aristoteles[9] adalah: Hukum identitas (law of identity), hukum kontradiksi (law of contradiction) dan hukum penyisihan jalan tengah (law of ecluded midle).
a.    Hukum identitas (law of identity): setiap benda (objek) adalah benda itu sendiri
Prinsip ini mengakui bahwa setiap benda (objek) mengandung arti kesamaan pada dirinya masing-masing dan tak mungkin sama dengan benda (objek) yang lain. Secara simbolis dikatakan bahwa A adalah A, B adalah B dan tak mungkin A adalah juga B walaupun terdapat banyak persamaan diantara keduanya
b.    Hukum kontradiksi (law of contradiction): sesuatu benda (objek) tidak dapat merupakan benda (objek) itu sendiri dan sekaligus merupakan benda yang lain dalam waktu yang sama. Sesuatu tidaklah dapat positif dan negative pada waktu yang sama
Melalui prinsip ini dapat diturunkan beberapa rumusan, diantaranya[10]:
1)   Sesuatu tidak dapat ada dan sekaligus tidak ada pada waktu yang bersamaan
2)   Tidak mungkin A = B dan sekaligus A ¹ B
3)   Apabila terdapat dua buah pendapat yang saling bertentangan, walaupun keduanya menganggap benar, maka tidak mungkin keduanya benar dalam waktu bersamaan
c.    Hukum penyisihan jalan tengah (law of ecluded midle): sesuatu haruslah bersifat positif atau negative
Kebenaran salah satu dari dua hal yang saling kontradiksi menunjukkan kesalahan pada yanglainnya dan kesalahan yang satu menunjukkkan kebenaran yang lainnya. Keduanya tidak bisa benar dan keduanya tidak bisa salah sekaligus.
Selain mengemukakan 3 (tiga) buah prinsip dalam logika, Aristoteles juga mengemukakan teori kausa atau teori sebab dimana kausa dimaknai sebagai suatu hal atau keadaan yang berpengaruh guna membangkitkan sesuatu atau keadaan baru melalui cara apapun juga[11]. Ada 4 (empat) kausa yang dikemukakan, yakni:
1)   Kausa materialis (sebab bahan/materi): Sesuatu benda (objek) dibuat atau diciptakan dari material tertentu.
Benda-benda di alam ini diyakini memiliki unsur dari api, angin, air, dan tanah. Lebih halus lagi hewan; serangga, mamalia, vertebrata dan tumbuhan; pohon, bunga, rumput, jamur serta segala benda hidup terdiri atas susunan bermilyar sel. Setiap sel berasal dari persenyawaan karbon, hydrogen, nitrogen, dan oksigen. Diperhalus lagi, persenyawaan dari seratusan unsur yang telah dikenal manusia. Lebih halus lagi raga manusia dan juga benda-benda di dunia berasal dari  atom; pertemuan proton, neutron dan electron. Peredaran proton, neutron dan electron dalam lingkungan atom, sama aturannya dengan peredaran planet mengelilingi matahari, sama kejadiannya dengan peredara tata surya mengelilingi galaksi.
Demikian halnya dengan manusia, ia diciptakan dari material yang tertentu. Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk[12]. Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh, Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk”[13]. Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah, Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim), Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik[14]
2)   Kausa formalis (sebab bentuk): Tiap sesuatu yang diciptakan pasti memiliki bentuk tertentu
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah, Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim), Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik[15]. Sungguh, kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya[16]
3)   Kausa efisiensi (sebab pembuat): Setiap karya/ciptaan pasti ada pembuat/penciptanya
Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa[17].
4)   Kausa finalis: Setiap karya/ciptaan tentu mengandung maksud dan tujuan dari penciptaannya
          Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku[18]

Logika Sentensial
Pembahasan logika sentensial pada buku Formal Methods karya Evert W. Beth[19] mencakup disjungsi, konjungsi dan negasi yang masing-masing disimbolkan dengan ‘Ú’, ’&’, ’~’
Sebelum pembahasan mengenai hal tersebut, beberapa ketentuan yang harus ditetapkan adalah: Jika kedua P dan Q adalah pernyataan, maka P®Q , PÚQ, dan P&Q adalah pernyataan, dan jika P adalah formula , maka ~P akan menjadi formula.
Jika P adalah salah dan Q adalah benar, maka P®Q benar , dan jika P benar dan Q adalah salah maka P®Q adalah salah ; jika salah satu dari P atau Q adalah benar, maka PvQ benar, dan jika kedua U dan V adalah salah, maka UvV adalah salah; jika P dan Q keduanya benar, maka P&Q adalah benar, dan jika salah satu dari P atau Q bernilai salah maka P&Q salah. Terakhir, jika P benar maka ~P salah.
Kita dapat menyatakan hal-hal tersebut diatas dalam bentuk table nilai kebenaran sebagai berikut:
Tabel 1: Nilai kebenaran negasi, disjungsi dan konjungsi
P
Q
~P
P v Q
P&Q
B
B
S
B
B
B
S
S
B
S
S
B
B
B
S
S
S
B
S
S

Penyimpulan (Inference)
Salah satu tujuan yang penting dari logika matematika adalah untuk memperoleh pengetahuan guna menguji argumentasi atau penarikan kesimpulan. Dalam hal ini, argumentasi merupakan suatu penegasan bahwa dari beberapa pernyataan benar yang diketahui (premis) melalui langkah – langkah logis dapat diturunkan suatu pernyataan yang benar yang disebut kesimpulan atau konklusi. Suatu argumentasi dikatakan berlaku atau sah jika dan hanya jika konjungsi dari premis – premis berimplikasi konklusi.
Logika dapat dicirikan sebagai teori inferensi[20]. Inferensi deduktif memainkan peran penting dalam matematika. Contoh bentuk kesimpulan deduktif, adalah modus ponens:
Jika P maka Q
P
Q

Kesimpulan semacam ini melibatkan tiga kalimat : dua premis dan sebuah kesimpulan. Dalam konteks kesimpulan tertentu , struktur internal dari premis kedua P dan dari kesimpulan Q tidak terlalu penting. Namun demikian , penting bahwa premis pertama yang berupa implikasi menjadi senyawa tertentu oleh sebab premis kedua P , dari kesimpulan Q.
Merujuk aljabar lanjut frase 'Jika ... maka', diberi simbol khusus dengan '®', sehingga tulisan : 'P ® Q' bermakna 'Jika P maka Q'. Dengan demikian, modus ponens merupakan suatu argumentasi sah dengan penarikan kesimpulan deduksi didasarkan oleh premis – premis berbentuk P ® Q dan P yang menghasilkan konklusi Q.
Premis 1      : P ® Q
Premis 2      : P
Konklusi      : Q

Argumentasi di atas dapat dinyatakan dalam bentuk implikasi sebagai berikut: [(P®Q)P]®Q. Untuk menguji keabsahan argumentasi di atas, melalui hubungan yang sangat sederhana dapat didirikan atas dasar dari prinsip-prinsip heuristik berikut[21] :
1.   Setiap kalimat P , Q , dan P®Q harus benar atau salah
2.   Nilai kebenaran dari kalimat majemuk P®Q harus berhubungan dengan nilai-nilai kebenaran komponen P dan Q
3.   Modus ponens harus menjadi bentuk inferensi yang diterima
4.   Bukti dengan reductio ad absurdum (kebenaran suatu proposisi dapat dibuktikan denganmembuktikan bahwa negasinya salah[22]) harus mungkin
5.   Harus mungkin untuk menerapkan argumentum ex hypothesi
Kelima prinsip tersebut diatas dapat dilakukan dengan memeriksa tabel kebenaran berikut ini:
Tabel 2: Nilai Kebenaran Modus Ponen
P
Q
P ® Q
(P ® Q) P
[(P ® Q) P] ® Q
B
B
S
S
B
S
B
S
B
S
B
B
B
S
S
S
B
B
B
B

Dari tabel diatas terlihat bahwa [(P®Q)P]®Q merupakan suatu tautologi.
Metode penarikan kesimpulan lainnya adalah modus tollens. Pada modus tollens. Pada modus tollens penarikan kesimpulan didasarkan pada premis – premis P Q dan ~Q yang menghasilkan konklusi ~Q.
Premis 1 : P Q
Premis 2 : ~Q
Konklusi : ~P

Argumentasi diatas dapat dinyatakan dalam bentuk implikasi sebagai berikut. [(p q) ~q] ~p
Untuk menguji kabsahannya dapat dilakukan dengan memeriksa tabel kebenaran berikut!
Tabel 3: Nilai Kebenaran Modus Tollen
p
q
~p
~q
p q
(pq) ~q
[(pq)~q~p
B
B
S
S
B
S
B
S
S
S
B
B
S
B
S
B
B
S
B
B
S
S
S
B
B
B
B
B

Dari tabel di atas terlihat bahwa [(pq)~q]~p merupakan tautologi. Hal ini berarti modus tollens merupakan salah satu argumentasi yang sah yang dapat digunakan dalam penarikan kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

Al Qur'an Al Karim

Burhanuddin Salam. 1988. Logika formal . Jakarta:Bina Aksara

Idzam Fautanu. 2012. Filsafat ilmu, Teori & Aplikasinya . Jakarta: Referensi

Evert W. Beth. 1962. Formal Methods: an introduction to symbolic logic. Dordrecht: D. Reidel publishing company

R.G. Soekadijo. 1985. Logika Dasar: tradisional, simbolik, dan induktif, Jakarta: Gramedia

Sumardyono. 2004. Karakteristik matematika dan implikasinya terhadap pembelajaran matematika.Yogyakarta: PPPG Matematika

Skemp, R. K. (1986). The Psychology of Learning Mathematics (2nd ed.). Harmondsworth, England: Penguin.

http://sayasukamatematika.blogspot.co.id/2010/09/kognisi-dalam-mempelajari-matematika.html

http://sakri-clearesta.blogspot.com/2009/05/tokoh-logika-dan-pemikirannya.html


[1] Sumardyono. 2004. Karakteristik matematika dan implikasinya terhadap pembelajaran matematika , hal 4
[2] R.G. Soekadijo. 1985. Logika Dasar: tradisional, simbolik, dan induktif, Hal 6
[3] Disusun berdasarkan kerangka yang dikembangkan dalam http://sakri-clearesta.blogspot.com /2009/05/ tokoh-logika-dan-pemikirannya.html
[4] Burhanuddin Salam. 1988. Logika Formal (Filsafat Berpikir). hal 3
[5] R.G. Soekadijo. Op. cit. hal 28
[6] ibid. hal 132
[7] Burhanuddin Salam. 1988. Logika Formal (Filsafat Berpikir). hal 3
[8] Ibid hal 16
[9] Burhanuddin Salam. Op cit hal. 18
[10] Ibid hal 20
[11] Ibid hal 31
[12] QS. Al Hijr, 15: 26
[13] QS. Al Hijr, 15: 28
[14] QS Al Mu’minun, 23: 12-14
[15] QS Al Mu’minun, 23: 12-14
[16] QS At Tiin, 95: 4
[17] QS Al BAqoroh 2: 21
[18] QS Adz Dzariyat, 51: 56
[19] [19] Evert W. Beth. 1962. Formal Methods. Dordrecht: D. Reidel publishing company, hal 40
[20] Evert W. Beth. 1962. Formal Methods. Dordrecht: D. Reidel publishing company, hal 1
[21] Ibid, hal 3
[22] R.G. Soekadijo. Op cit hal 82