FORMAL (2)
PENDAHULUAN
Matematika
merupakan buah pikir manusia yang kebenarannya bersifat umum, memiliki struktur
ketat, terdiri atas aksioma, definisi, dan teorema yang
dibangun dengan suatu struktur logika[1].
Pengetahuan matematika direpresentasikan melalui proses berpikir analitik dan
logis. Hal ini menunjukkan bahwa berpikir matematis diperoleh melalui proses
mental sadar yang didasari oleh logika matematika serta bukti matematika.
Proses
pengaitan antara notasi dan simbol dengan ide-ide matematika memerlukan
aktivitas mental yang disebut kognisi formal (formal cognition). Kognisi
formal merupakan kognisi yang dikontrol oleh logika matematika dan bukti
matematika baik melalui induksi maupun deduksi matematika. Penalaran
yang konklusinya (kesimpulan) lebih luas dari premisnya (dasar penyimpulan)
disebut induksi, sedangkan penalaran dimana konklusinya tidak lebih luas dari
premisnya disebut deduksi[2].
Perkembangan Logika[3]
Logika
pertama-tama disusun oleh Aristoteles (384-322 SM)[4],
sebagai sebuah ilmu tentang hukum-hukum berpikir guna memelihara jalan pikiran
dari setiap kekeliruan. Logika sebagai ilmu baru pada waktu itu, disebut dengan
nama “analitika” dan “dialektika”. Kumpulan karya tulis Aristoteles mengenai
logika diberi nama Organon, terdiri atas enam bagian. Theoprastus (371-287
SM), memberi sumbangan terbesar dalam logika melalui penafsirannya tentang
pengertian yang mungkin dan juga tentang sebuah sifat asasi dari setiap
kesimpulan. Porphyrius (233-306 M), seorang ahli pikir di Iskandariah
menambahkan satu bagian baru dalam pelajaran logika. Bagian baru ini disebut Eisagoge,
yakni sebagai pengantar Categorie. Dalam bagian baru ini dibahas
lingkungan-lingkungan zat dan lingkungan-lingkungan sifat di dalam alam, yang
biasa disebut dengan klasifikasi. Dengan demikian, logika menjadi tujuh bagian.
Al-Farabi (873-950
M) yang terkenal mahir dalam bahasa Yunani Tua, menyalin seluruh karya tulis
Aristoteles dalam berbagai bidang ilmu dan karya tulis ahli-ahli pikir Yunani
lainnya. Al-Farabi menyalin dan memberi komentar atas tujuh bagian logika dan
menambahkan satu bagian baru sehingga menjadi delapan bagian.
Petrus
Hispanus (meninggal 1277 M) menyusun pelajaran logika berbentuk sajak bernama
Summulae. Petrus Hispanus inilah yang mula-mula mempergunakan berbagai nama
untuk sistem penyimpulan yang sah dalam perkaitan bentuk silogisme kategorik
dalam sebuah sajak.
Francis
Bacon (1561-1626 M) melancarkan serangan sengketa terhadap logika dan
menganjurkan penggunaan sistem induksi secara lebih luas. Serangan Bacon
terhadap logika ini memperoleh sambutan hangat dari berbagai kalangan di Barat,
kemudian perhatian lebih ditujukan kepada penggunaan sistem induksi. Pembaruan
logika di Barat berikutnya disusul oleh lain-lain penulis di antaranya
adalah Gottfried Wilhem von Leibniz. Ia menganjurkan penggantian
pernyataan-pernyataan dengan simbol-simbol agar lebih umum sifatnya dan lebih
mudah melakukan analisis. George Boole (1815-1864)[5]
seorang ahli matematika Inggris, mengerjakan logika Aristoteles sebagai
aljabar. Dalam sistemanya setiap kelas dilambangkan dengan huruf. Demikian
juga Leonard Euler,seorang ahli matematika dan logika Swiss melakukan
pembahasan tentang term-term dengan menggunakan lingkaran-lingkaran untuk
melukiskan hubungan antarterm yang terkenal dengan sebutan circle-Euler.
John
Stuart Mill (1806-1873), salah seorang tokoh terpenting dalam perkembangan
logika induktif[6] mempertemukan
sistem induksi dengan sistem deduksi. Setiap pangkal-pikir besar di dalam
deduksi memerlukan induksi dan sebaliknya induksi memerlukan deduksi bagi
penyusunan pikiran mengenai hasil-hasil eksperimen dan penyelidikan. Jadi,
kedua-duanya bukan merupakan bagian-bagian yang saling terpisah, tetapi
sebetulnya saling membantu. Mill sendiri merumuskan metode-metode bagi sistem
induksi, terkenal dengan sebutan Four Methods. Dan sejak pertengahan abad ke-19
mulai lahir satu cabang baru yang disebut dengan Logika-Simbolik. Pelopor
logika simbolik pada dasarnya sudah dimulai oleh Leibniz
Logika
Aristoteles
Logika
artificial disebut juga logika tradisional oleh karena kelahirannya sebagai
tradisi kuno semenjak Aristoteles (384-322 SM) berhasil merumuskan ilmu tentang
kaidah berpikir benar secara sistematis serta membukukannya dalam “Organon”[7].
Organon dapat artikan sebagai alat atau instrument. Ilmu logika pada awalnya
diberi nama “analytica” dengan intisari ajarannya ‘syllogisme’ yang berarti
suatu uraian terkunci[8].
Terdapat setidaknya dua jenis silogisme; hipotetik dan kondisional.
Logika
Aristoteles bersumber dari prinsip dasar berpikiir dari Sokrates. Tugas utama
ilmu logika ialah mengakui hubungan yang tepat antara yang umum dan yang
khusus. Oleh karenanya keterangan-keterangan ilmiah berarti menunjukkan prinsip
dasar tentang berlakunya uraian yang bersumber dari keterangan yang bersifat
umum.
Prinsip
atau hukum dalam logika menurut Aristoteles[9]
adalah: Hukum identitas (law of identity), hukum kontradiksi (law of
contradiction) dan hukum penyisihan jalan tengah (law of ecluded midle).
a.
Hukum identitas (law of identity): setiap benda
(objek) adalah benda itu sendiri
Prinsip ini mengakui bahwa setiap
benda (objek) mengandung arti kesamaan pada dirinya masing-masing dan tak
mungkin sama dengan benda (objek) yang lain. Secara simbolis dikatakan bahwa A
adalah A, B adalah B dan tak mungkin A adalah juga B walaupun terdapat banyak
persamaan diantara keduanya
b.
Hukum kontradiksi (law of contradiction):
sesuatu benda (objek) tidak dapat merupakan benda (objek) itu sendiri dan
sekaligus merupakan benda yang lain dalam waktu yang sama. Sesuatu tidaklah
dapat positif dan negative pada waktu yang sama
Melalui prinsip ini dapat diturunkan
beberapa rumusan, diantaranya[10]:
1) Sesuatu tidak
dapat ada dan sekaligus tidak ada pada waktu yang bersamaan
2) Tidak mungkin A
= B dan sekaligus A ¹ B
3) Apabila
terdapat dua buah pendapat yang saling bertentangan, walaupun keduanya
menganggap benar, maka tidak mungkin keduanya benar dalam waktu bersamaan
c.
Hukum penyisihan jalan tengah (law of ecluded midle):
sesuatu haruslah bersifat positif atau negative
Kebenaran salah satu dari dua hal yang saling
kontradiksi menunjukkan kesalahan pada yanglainnya dan kesalahan yang satu
menunjukkkan kebenaran yang lainnya. Keduanya tidak bisa benar dan keduanya
tidak bisa salah sekaligus.
Selain
mengemukakan 3 (tiga) buah prinsip dalam logika, Aristoteles juga mengemukakan
teori kausa atau teori sebab dimana kausa dimaknai sebagai suatu hal
atau keadaan yang berpengaruh guna membangkitkan sesuatu atau keadaan baru
melalui cara apapun juga[11].
Ada 4 (empat) kausa yang dikemukakan, yakni:
1)
Kausa materialis (sebab bahan/materi): Sesuatu benda
(objek) dibuat atau diciptakan dari material tertentu.
Benda-benda di alam ini
diyakini memiliki unsur dari api, angin, air, dan tanah. Lebih halus lagi
hewan; serangga, mamalia, vertebrata dan tumbuhan; pohon, bunga, rumput, jamur
serta segala benda hidup terdiri atas susunan bermilyar sel. Setiap sel berasal
dari persenyawaan karbon, hydrogen, nitrogen, dan oksigen. Diperhalus lagi,
persenyawaan dari seratusan unsur yang telah dikenal manusia. Lebih halus lagi
raga manusia dan juga benda-benda di dunia berasal dari atom; pertemuan proton, neutron dan electron.
Peredaran proton, neutron dan electron dalam lingkungan atom, sama aturannya
dengan peredaran planet mengelilingi matahari, sama kejadiannya dengan peredara
tata surya mengelilingi galaksi.
Demikian
halnya dengan manusia, ia diciptakan dari material yang tertentu. Dan sungguh, Kami telah menciptakan
manusia (Adam) dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk[12].
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh, Aku
akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang
diberi bentuk”[13]. Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari
tanah, Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim), Kemudian air
mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia
makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling
Baik[14]
2)
Kausa formalis (sebab bentuk): Tiap sesuatu yang
diciptakan pasti memiliki bentuk tertentu
Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari
tanah, Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam
tempat yang kokoh (rahim), Kemudian air mani itu Kami
jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging,
dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu
Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk)
lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik[15]. Sungguh,
kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya[16]
3)
Kausa efisiensi (sebab pembuat): Setiap karya/ciptaan
pasti ada pembuat/penciptanya
Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu
yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu
bertaqwa[17].
4)
Kausa finalis: Setiap karya/ciptaan tentu mengandung
maksud dan tujuan dari penciptaannya
Aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku[18]
Logika
Sentensial
Pembahasan
logika sentensial pada buku Formal Methods karya Evert W. Beth[19]
mencakup disjungsi, konjungsi dan negasi yang masing-masing disimbolkan dengan
‘Ú’, ’&’, ’~’
Sebelum
pembahasan mengenai hal tersebut, beberapa ketentuan yang harus ditetapkan
adalah: Jika kedua P dan Q adalah pernyataan, maka P®Q , PÚQ, dan P&Q adalah pernyataan, dan
jika P adalah
formula , maka ~P akan
menjadi formula.
Jika P adalah salah dan Q adalah
benar, maka P®Q benar , dan
jika P benar dan Q adalah salah maka P®Q adalah salah ; jika salah satu dari P atau Q adalah benar,
maka PvQ benar, dan
jika kedua U dan V adalah salah, maka
UvV adalah salah; jika P dan Q keduanya benar, maka
P&Q adalah benar, dan jika salah satu dari P atau Q bernilai salah maka
P&Q salah. Terakhir, jika P benar maka ~P salah.
Kita
dapat menyatakan hal-hal tersebut diatas dalam bentuk table nilai kebenaran
sebagai berikut:
Tabel
1: Nilai kebenaran negasi, disjungsi dan konjungsi
P
|
Q
|
~P
|
P v Q
|
P&Q
|
B
|
B
|
S
|
B
|
B
|
B
|
S
|
S
|
B
|
S
|
S
|
B
|
B
|
B
|
S
|
S
|
S
|
B
|
S
|
S
|
Penyimpulan
(Inference)
Salah satu tujuan yang penting dari logika
matematika adalah untuk memperoleh pengetahuan guna menguji argumentasi atau
penarikan kesimpulan. Dalam hal ini, argumentasi merupakan suatu penegasan
bahwa dari beberapa pernyataan benar yang diketahui (premis) melalui langkah – langkah logis dapat diturunkan suatu
pernyataan yang benar yang disebut kesimpulan
atau konklusi. Suatu argumentasi
dikatakan berlaku atau sah jika dan hanya jika konjungsi dari premis – premis
berimplikasi konklusi.
Logika dapat dicirikan sebagai teori
inferensi[20].
Inferensi deduktif memainkan
peran
penting dalam matematika. Contoh bentuk
kesimpulan
deduktif, adalah modus ponens:
Jika
P maka Q
P
∴
Q
Kesimpulan semacam ini melibatkan
tiga kalimat : dua premis dan
sebuah kesimpulan. Dalam konteks kesimpulan tertentu , struktur
internal dari
premis kedua P dan
dari kesimpulan Q tidak
terlalu penting. Namun
demikian , penting bahwa premis pertama yang
berupa implikasi
menjadi senyawa tertentu
oleh sebab premis
kedua P , dari kesimpulan Q.
Merujuk aljabar lanjut
frase 'Jika
... maka', diberi simbol
khusus dengan '®', sehingga tulisan : 'P ® Q' bermakna 'Jika P maka Q'. Dengan demikian, modus ponens
merupakan suatu argumentasi sah dengan penarikan kesimpulan deduksi didasarkan
oleh premis – premis berbentuk P ® Q dan P yang menghasilkan konklusi Q.
Premis 1 : P ® Q
Premis 2 : P
Konklusi : ∴
Q
Argumentasi
di atas dapat dinyatakan dalam bentuk implikasi sebagai berikut: [(P®Q)∧P]®Q. Untuk menguji keabsahan
argumentasi di atas, melalui hubungan yang sangat sederhana dapat didirikan atas
dasar dari
prinsip-prinsip
heuristik berikut[21] :
1.
Setiap kalimat P , Q , dan P®Q harus benar
atau salah
2.
Nilai kebenaran
dari kalimat majemuk P®Q harus berhubungan dengan
nilai-nilai kebenaran komponen P dan Q
3.
Modus ponens harus
menjadi bentuk inferensi yang
diterima
4.
Bukti dengan reductio
ad absurdum (kebenaran
suatu proposisi dapat dibuktikan denganmembuktikan bahwa negasinya salah[22])
harus mungkin
5.
Harus mungkin untuk menerapkan argumentum ex hypothesi
Kelima
prinsip tersebut diatas dapat dilakukan dengan memeriksa tabel kebenaran
berikut ini:
Tabel
2: Nilai Kebenaran Modus Ponen
P
|
Q
|
P
®
Q
|
(P
®
Q) ∧ P
|
[(P
®
Q)∧ P]
®
Q
|
B
B
S
S
|
B
S
B
S
|
B
S
B
B
|
B
S
S
S
|
B
B
B
B
|
Dari
tabel diatas terlihat bahwa [(P®Q)∧P]®Q merupakan suatu tautologi.
Metode
penarikan kesimpulan lainnya adalah modus tollens. Pada modus tollens. Pada
modus tollens penarikan kesimpulan didasarkan pada premis – premis P ⟹
Q dan ~Q yang menghasilkan konklusi ~Q.
Premis 1 :
P ⟹ Q
Premis 2 : ~Q
Konklusi :
∴~P
Argumentasi diatas dapat
dinyatakan dalam bentuk implikasi sebagai berikut. [(p ⟹
q) ∧ ~q]
⟹ ~p
Untuk menguji
kabsahannya dapat dilakukan dengan memeriksa tabel kebenaran berikut!
Tabel
3: Nilai Kebenaran Modus Tollen
p
|
q
|
~p
|
~q
|
p⟹
q
|
(p⟹q) ∧ ~q
|
[(p⟹q)∧~q⟹~p
|
B
B
S
S
|
B
S
B
S
|
S
S
B
B
|
S
B
S
B
|
B
S
B
B
|
S
S
S
B
|
B
B
B
B
|
Dari
tabel di atas terlihat bahwa [(p⟹q)∧~q]⟹~p merupakan tautologi. Hal ini berarti
modus tollens merupakan salah satu argumentasi yang sah yang dapat digunakan
dalam penarikan kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur'an Al Karim
Burhanuddin
Salam. 1988. Logika formal . Jakarta:Bina Aksara
Idzam
Fautanu. 2012. Filsafat ilmu, Teori & Aplikasinya . Jakarta:
Referensi
Evert W.
Beth. 1962. Formal Methods: an introduction to symbolic logic.
Dordrecht: D. Reidel publishing company
R.G.
Soekadijo. 1985. Logika Dasar: tradisional, simbolik, dan induktif, Jakarta:
Gramedia
Sumardyono.
2004. Karakteristik matematika dan implikasinya terhadap pembelajaran
matematika.Yogyakarta: PPPG Matematika
Skemp, R. K. (1986). The
Psychology of Learning Mathematics (2nd ed.). Harmondsworth, England:
Penguin.
http://sayasukamatematika.blogspot.co.id/2010/09/kognisi-dalam-mempelajari-matematika.html
[1]
Sumardyono. 2004. Karakteristik matematika dan implikasinya terhadap
pembelajaran matematika , hal 4
[2]
R.G. Soekadijo. 1985. Logika Dasar: tradisional, simbolik, dan induktif, Hal 6
[3]
Disusun berdasarkan kerangka yang dikembangkan dalam http://sakri-clearesta.blogspot.com
/2009/05/ tokoh-logika-dan-pemikirannya.html
[4]
Burhanuddin Salam. 1988. Logika Formal (Filsafat Berpikir). hal 3
[5]
R.G. Soekadijo. Op. cit. hal 28
[6] ibid.
hal 132
[7]
Burhanuddin Salam. 1988. Logika Formal (Filsafat Berpikir). hal 3
[8]
Ibid hal 16
[9]
Burhanuddin Salam. Op cit hal. 18
[10]
Ibid hal 20
[11]
Ibid hal 31
[12]
QS. Al Hijr, 15: 26
[13]
QS. Al Hijr, 15: 28
[16]
QS At Tiin, 95: 4
[17]
QS Al BAqoroh 2: 21
[18]
QS Adz Dzariyat, 51: 56
[20]
Evert W. Beth. 1962. Formal Methods. Dordrecht: D. Reidel publishing company,
hal 1
[21]
Ibid, hal 3
[22]
R.G. Soekadijo. Op cit hal 82